Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Menurut sebuah penelitian dalam European Heart Journal: Acute Cardiovascular Care tahun 2015, risiko serangan jantung 8,5 kali lebih tinggi dalam 2 jam setelah ledakan amarah yang intens.
Risiko tersebut bisa terjadi karena respons serangan kemarahan dapat mendorong sistem saraf untuk memotong aliran darah ke perut dan mengalihkannya ke otot-otot, yang berdampak pada sekresi pencernaan.
Kemarahan menyebabkan lonjakan hormon stres kortisol. Selama ledakan amarah berkepanjangan dan sering terjadi, bagian sistem saraf menjadi sangat aktif, yang dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh seiring waktu.
Maka dari itu, penting untuk kita bisa belajar mengendalikan amarah. Ini dia caranya!
1. Membuat harapan yang lebih realistis
pexels.com/MarcusAurelius Begitu banyak kemarahan berasal dari ekspektasi yang tidak realistis terhadap orang lain, dunia pada umumnya, dan diri kita sendiri.
Makanya, bagi orang yang telah berjuang dan berusaha tetapi hasilnya masih di bawah ekspektasi, itu akan jadi masalah yang bikin suasana hati turun, yang nantinya bisa dengan mudahnya memancing amarah.
Walaupun demikian, masih banyak orang yang belum sadar akan hal ini. Itu termasuk harapan-harapan bahwa, "orang lain harus berperilaku laik seperti yang saya perlukan", "hidup harus adil", dan masih banyak lagi harapan yang terlalu tinggi yang kelak bisa mengganggu emosi.
Baca Juga: Mudah Merasa Marah? Mungkin 13 Faktor Medis Ini Penyebab Kamu Emosian
2. Coba strategi "fly on the wall"
Ilustrasi marah. freepik.com/jannoon028 Emosi negatif sangat mudah terpancing setelah kamu diprovokasi. Namun, lain kali bila seseorang membuatmu marah, cobalah strategi "fly on the wall". Bagaimana cara melakukannya?
Begini, anggap saja kamu sedang melihat masalah yang membuatmu marah layaknya pemandangan dari kejauhan. Orang yang marah mudah tenggelam dalam situasi dan cenderung merenungkan tentang apa yang membuat mereka marah. Makanya, ada orang yang menyesal saat dia marah.
Nah, dengan mengadopsi perspektif fly on the wall ini, kamu lebih bisa menjaga jarak dari masalah.
3. Bernapaslah lebih dalam
Bila tak ada waktu untuk melakukan meditasi, kamu bisa tetap merasa bahagia dengan latihan pernapasan dalam.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
Menarik napas dalam-dalam bisa mengurangi beban psikologis. Secara khusus, aliran pernapasan yang dalam membantu memperlambat detak jantung dan menjaga pikiran tetap fokus pada hal lain selain sumber stresmu.
4. Cobalah beraktivitas hingga kamu berkeringat
Olahraga adalah solusi sehat untuk menyalurkan agresi dan merangsang pelepasan senyawa kimia otak yang menciptakan rasa nyaman.
Maka dari itu, tak mengherankan jika penelitian, termasuk studi tinjauan yang ditertbitkan dalam jurnal Acta Scientific Medical Sciences tahun 2019, menyatakan bahwa olahraga bisa menjadi cara efektif untuk mengelola amarah.
5. Cobalah memikirkan hal positif dari sumber amarahmu
pexels.com/ChiristinaMorillo Lain kali, kalau kamu marah dengan teman, pasangan, anggota keluarga, rekan kerja, atau orang lain, cobalah bangkitkan gambaran tentang pengalaman atau kenangan di mana kamu bisa merasakan perhatian atau cinta yang lebih besar untuk orang tersebut.
Tips lainnya, bayangkan dirimu di masa depan sedang melihat kembali peristiwa ini, lalu tanyakan pada dirimu, "Bagaimana perasaanku setelah melakukan tindakan ceroboh ini?"
6. Terapi
Ilustrasi anger management. pexels.com/PolinaZimmerman Terapi perilaku kognitif dapat membantumu belajar mengenali pemicu amarah dan mengendalikan reaksi saat pelampiasan kemarahan.
Restrukturisasi kognitif melibatkan pembelajaran untuk mengidentifikasi dan menantang gangguan dalam berpikir. Itu termasuk apa yang dikenal sebagai catastrophizing (secara otomatis mengasumsikan kamu berada dalam situasi yang lebih mengancam daripada yang sebenarnya) dan personalisasi (percaya bahwa pernyataan atau perilaku orang lain diarahkan ke kamu, padahal sebenarnya tidak).
Baca Juga: Bagaimana Emosi Memengaruhi Pertumbuhan Sel Kanker? Ini Hasil Risetnya