TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Seperti Apa Isi Kepala Para Anticovid dan Fans Teori Konspirasi?

Apa yang membuat mereka percaya teori konspirasi?

ilustrasi isi kepala manusia (pixabay.com/luxstorm)

Pandemi COVID-19 sudah berjalan lebih dari satu tahun. Namun, rasanya semakin banyak orang yang tidak percaya bahwa COVID-19 itu nyata. Fenomena ini dapat dijumpai di media sosial seperti Facebook, Instagram, hingga Twitter.

Selain jumlahnya yang semakin banyak, mereka juga semakin lantang menyuarakan kebenaran versi mereka. Bahkan, tak jarang mereka merundung orang-orang yang dianggap berseberangan dengan apa yang mereka percayai.

Lewat program Health Talk yang disiarkan secara live di Instagram @idntimes pada Kamis (29/4/2021), dr. Muhammad Kamil, founder Pandemic Talks, dan dr. Santi Yuliani, M.Sc., Sp.KJ, consultation liaison psychiatry, akan menjelaskan cara berpikir orang-orang anticovid. Mari simak bersama!

1. Orang yang masih ragu dan belum punya pegangan adalah "sasaran empuk"

ilustrasi orang kebingungan (pixabay.com/RobinHiggins)

Berdasarkan survei, ditemukan sekitar 20 persen orang yang percaya bahwa COVID-19 adalah buatan manusia. Di sisi lain, orang yang menganggap COVID-19 virus sungguhan dan sesuai kaidah sains memiliki jumlah yang kurang lebih sama dengan mereka yang percaya teori konspirasi.

Bagaimana dengan sisanya? Surprisingly, sisanya berada di zona abu-abu atau ragu dan cenderung belum punya pegangan. Menurut dr. Kamil, mereka akan goyah bila tidak mendapatkan informasi yang lengkap dan lingkup pertemanannya percaya teori konspirasi.

"Itu yang kami (Pandemic Talks) sasar, sih, sebenarnya. Itu adalah ruang atau gap yang besar di masyarakat. Ini yang akan kami isi dengan informasi yang akurat dan fakta yang bisa dirunut secara metodologi, bahwa ini memang (berbasis) temuan, evidence, atau bukti. Kalau ngomong kematian (jumlahnya) segini ya sumbernya dari Kemenkes misalnya," dr. Kamil menjelaskan.

Baca Juga: Komorbid Tertinggi COVID-19, Pengidap Hipertensi Harus Lakukan Ini

2. Imbas dari referensi yang minim dan kurang tepercaya

ilustrasi orang membaca artikel atau berita di internet (pixabay.com/JoshuaWoroniecki)

Perbedaan pendapat adalah hal yang sangat wajar. Kita tidak bisa menyeragamkan isi pikiran semua orang karena tiap individu unik.

Bila ditilik dari sejarahnya, pandemi pernah beberapa kali terjadi. Seperti sebuah kejadian yang terulang, di setiap masa selalu ada orang yang percaya, tidak percaya, dan ragu-ragu terhadap pandemi.

Faktor penentu orang percaya atau tidak adalah referensi. Menurut dr. Santi, referensi yang banyak adalah pembeda dari orang yang referensinya sedikit.

"Di saat ia memilih membaca banyak referensi, ia akan mendapatkan point of view yang bagus. Sebaliknya, saat ia bertahan dengan referensinya yang keliru dan justru 'cocoklogi', ujung-ujungnya jadi makin salah," tutur dr. Santi.

Dalam ilmu kedokteran jiwa, "cocoklogi" disebut sebagai idea of reference, di mana seseorang menghubung-hubungkan hal yang sebenarnya tidak berkaitan. Sebab, orang tersebut memiliki pandangan atau pola berpikir yang salah.

"Itulah idea of reference. Ketika seseorang berada di seberang dan tidak membuka mental block-nya, ia akan berada di situ terus (tidak berkembang). Tetapi, bagi orang-orang yang ada di grey area dan mendapatkan referensi yang baik, maka mereka bisa mendapatkan informasi atau point of view yang bagus," lanjutnya lagi.

3. Lebih memilih percaya testimoni daripada sumber informasi yang bersifat ilmiah

ilustrasi seseorang menunjukkan informasi pada temannya (pixabay.com/HND)

Bagi sebagian orang, sumber informasi yang valid dan kredibel itu kurang enak dibaca dan terlalu sulit dipahami. Alih-alih, mereka justru lebih percaya dengan testimoni yang bombastis. Mengapa?

Dunia kedokteran yang dinamis dan terus berubah dianggap sebagai ketidakpastian oleh mereka. Contohnya, pada awal pandemi, COVID-19 dikatakan akan sembuh dalam sekian hari. Nyatanya, beberapa bulan kemudian bisa berubah.

"Orang yang sudah terlanjur menganggap bahwa ilmu itu hitam-putih tidak bisa menerima ini. Mereka tidak tahu kalau ada grey area dalam ilmu kedokteran. Contohnya, dulu kalau ada orang tersedak harus ditepuk di punggung. Seiring berjalannya waktu, ada metode yang baru lagi. Bukan berarti yang kemarin itu mengada-ada, kan? Tapi, orang-orang yang tidak paham akan menggoreng ini sebagai bentuk bohong, hoax, ketidakpastian, dan scaremonger," ujar dr. Santi.

Itulah mengapa, sebagian orang merasa lebih nyaman membaca berita-berita yang sifatnya testimonial. Sebab, berita tersebut bersifat emosional, personal, lebih menyentuh, dan relate, walau kebenarannya belum bisa dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan berita yang dikemas dengan metode ilmiah yang sifatnya informatif, objektif, dan disertai data.

Contoh narasi testimonial yang digaungkan oleh para anticovid adalah minum obat herbal sebagai penyembuhan dan tidak memercayai prosedur maupun obat-obatan medis. Ada pula yang memberikan testimoni bahwa mereka tidak pernah memakai masker dan tetap sehat-sehat saja hingga kini.

Baca Juga: Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya