TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Alasan Mengapa Keraguan akan Vaksinasi Harus Dihadapi dengan Empati

Mencegah risiko stigmatisasi orang yang ragu divaksinasi

Ilustrasi vaksinasi COVID-19. pexels.com/cottonbro

Faktor-faktor yang mencakup pasokan dan distribusi vaksin masih menjadi kendala dalam mencapai herd immunity lewat upaya vaksinasi. Selain itu, menurut studi terbaru, tampaknya keraguan akan mendapat vaksinasi bisa mengancam upaya global untuk menghentikan pandemi.

Bukan cuma di Indonesia saja, tetapi tingkat keraguan akan vaksinasi cukup tinggi di seluruh dunia. Sebuah laporan dalam jurnal Vaccines tahun 2021 melaporkan studi survei tentang tingkat penerimaan vaksin COVID-19 di 33 negara. 

Di antara orang dewasa yang mewakili masyarakat umum, tingkat penerimaan vaksin COVID-19 tertinggi ditemukan di Ekuador (97,0 persen), Malaysia (94,3 persen), Indonesia (93,3 persen), dan Cina (91,3 persen).

Di sisi lain, tingkat penerimaan vaksin COVID-19 terendah ditemukan di Kuwait (23,6 persen), Yordania (28,4 persen), Italia (53,7 persen), Rusia (54,9 persen), Polandia (56,3 persen), Amerika Serikat (56,9 persen), dan Prancis (58,9 persen).

Hanya delapan survei di antara petugas kesehatan (dokter, perawat) yang ditemukan, dengan tingkat penerimaan vaksin berkisar dari 27,7 persen di Republik Demokratik Kongo hingga 78,1 persen di Israel. Pada mayoritas studi survei di kalangan masyarakat umum (62 persen), penerimaan vaksinasi COVID-19 menunjukkan tingkat ≥ 70 persen.

1. Persentase tingkat penerimaan vaksinasi di sejumlah negara di dunia

Ilustrasi vaksin COVID-19. pexels.com/cottonbro

Merujuk pada sebuah laporan yang diterbitkan di jurnal Science tahun 2021, tingkat penerimaan vaksin di Amerika Serikat (AS) rata-rata menyamai Polandia, yaitu 56,3 persen, lalu Prancis 58,9 persen, Rusia 54,9 persen, dan Italia 53,7 persen. Angka tersebut bahkan lebih rendah lagi di Kuwait sebanyak 23,5 persen dan Yordania yang hanya 28,4 persen.

Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini masih belum ada penelitian yang membahas mengenai berapa persen penerimaan vaksin di Indonesia. Namun, yang kita ketahui dari Juru Bicara Vaksin COVID-19 Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, vaksinasi di Indonesia selangkah lebih daripada negara-negara di Eropa. Hal ini disampaikannya di kanal YouTube Kementerian Kesehatan pada hari Minggu, 4 April 2021 lalu, berdasarkan hasil cakupan vaksinasi di Indonesia yang mencapai 8,5 juta pada tahap pertama.

Baca Juga: Apa Itu KIPI Vaksin COVID-19? Ini Penjelasannya!

2. Faktor yang menyebabkan ada kelompok yang ragu untuk mendapat vaksinasi

Ilustrasi seseorang yang menolak untuk divaksinasi. pexels.com/Anete Lusina

Penting untuk memahami perbedaan antara keraguan akan vaksin dan anti terhadap vaksin atau istilahnya adalah anti-vaxxer.

Keraguan akan vaksinasi mengacu pada keterlambatan penerimaan atau penolakan suatu vaksinasi meskipun tersedia layanan vaksinasi. Kondisi ini adalah masalah kompleks yang melibatkan berbagai faktor, seperti kepercayaan diri, kepuasan diri, dan tingkat kenyamanan yang berbeda di berbagai lingkungan, waktu, dan jenis vaksin yang akan disuntikkan.

Dengan kata lain, seseorang mungkin ragu-ragu untuk mendapatkan vaksin tertentu, tetapi lebih memilih vaksin lain. Ini mungkin terjadi saat ia tidak merasa vaksin tertentu aman atau efektif berdasarkan perspektif atau pengetahuan yang ia terima. Perasaan tersebut bisa berkembang dari kombinasi faktor-faktor seperti kekhawatiran, informasi yang salah atau misinformasi, dan pengalaman medis masa lalu atau lingkungan seperti keluarga.

Penelitian menunjukkan bahwa faktor individu, seperti keyakinan, nilai, pengetahuan, emosi, dan persepsi risiko turut memengaruhi keraguan akan vaksin, dan tampaknya juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sejarah, politik, budaya, dan sosial.

3. Perbedaan yang ragu divaksin dengan yang anti-vaksin

Ilustrasi vaksinasi COVID-19. pexels.com/Gustavo Fring

Menurut panduan The Anti-Vaxx Playbook yang diterbitkan oleh Center for Countering Digital Hate (CCDH), kelompok anti-vaksin cenderung mempromosikan tiga pesan utama:

  • COVID-19 sama sekali atau tidak terlalu berbahaya
  • Pendukung vaksin, seperti tenaga kesehatan atau masyarakat yang pro vaksin tidak dapat dipercaya
  • Vaksin apa pun jenis membawa risiko kesehatan negatif atau berbahaya

Adapun pesan utama tersebut sering memperluas kelompok anti-vaksin agar mempercayai:

  • Mengklaim bahwa pengobatan adalah alternatif dengan pola pikir: selagi bisa diobati, kenapa harus divaksinasi?
  • Mengklaim vaksin melanggar hak sipil individu
  • Mempertanyakan efektivitas atau keamanan vaksin tanpa mencari tahu kebenarannya dan tidak berusaha untuk mencari tahu dari profesional
  • Mengklaim bahwa vaksin entah bagaimana tidak bermoral
  • Mengklaim upaya vaksinasi entah bagaimana terkait dengan persekongkolan melawan publik

CCDH mendefinisikan anti-vaksin sebagai: "individu yang telah membuat keputusan sadar untuk menggunakan platform daring untuk berkampanye melawan vaksin dan menyebarkan informasi yang salah tentangnya.”

Inilah yang membuat kelompok orang yang memiliki keraguan akan vaksin tidak bisa disamakan dengan golongan anti-vaksin, yang memang sudah membuat keputusan tidak mau menerima vaksinasi apa pun jenis vaksinnya.

4. Meningkatkan edukasi yang berdasarkan empati untuk menghilangkan stigma negatif akan vaksin COVID-19

Ilustrasi seseorang yang sudah divaksinasi. unsplash.com/Nick Fewings

Tenaga medis dan fasilitator vaksin diharapkan perlu menyampaikan informasi tentang vaksin dengan cara yang lebih berempati. Dengan mencari tahu di bagian mana miskonsepsi mengenai vaksin yang menimbulkan keraguan bagi beberapa orang, sehingga mencegah risiko stigmatisasi orang yang ragu akan vaksin.

Ini berarti seluruh kalangan yang terkait dengan edukasi vaksinasi COVID-19 menciptakan pesan yang membahas tentang berbagai alasan kenapa seseorang mungkin masih ragu untuk mendapatkan vaksin tanpa bias atau menghakimi. Jadinya, orang tersebut merasa keluhannya tersampaikan dan tenaga medis mengerti akan keraguan yang sedang dirasakan.

Empati dalam edukasi kesehatan tidak hanya bertanya mengenai riwayat medis, tanda, dan gejala pasien. Ini lebih dari sekadar diagnosis dan pengobatan klinis. Empati mencakup hubungan dan pemahaman yang mencakup pikiran, tubuh, dan jiwa.

Mengekspresikan empati sangat efektif dan kuat, yang membangun kepercayaan antar manusia, menenangkan kecemasan, dan meningkatkan hasil dari tujuan yang ingin dicapai untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang.

Baca Juga: Janggut Tingkatkan Risiko COVID-19? Ini Penjelasannya!

Writer

Nur Ayu Fitriani

Maternal and Child Health Educator

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya