seseorang berjalan dengan gembira di lereng gunung (pexels.com/Nina Uhlikova)
Sebenarnya, ketakutan manusia pada ketinggian atau akrofobia itu ada kaitannya dengan mekanisme pertahanan diri secara naluriah. UK Climbing melansir, ketakutan manusia terhadap ketinggian termasuk hal yang wajar dan bahkan jadi salah satu penyebab kita bisa bertahan hidup. Sebab, dengan adanya rasa takut dengan ketinggian, manusia dapat memitigasi risiko atau bahaya yang mungkin terjadi jika berada di tempat yang sangat tinggi.
Ada satu bagian penting di otak kita yang memberikan sensasi rasa takut pada ketinggian pada manusia pada umumnya, yakni amigdala. Bagian otak ini berbentuk seperti kacang almond yang terletak pada sistem limbik dan punya fungsi memproses emosi (khususnya rasa takut), membentuk memori, serta pembelajaran. Semua orang memiliki rasa takut pada ketinggian pada kadar tertentu berkat amigdala, tetapi orang dengan akrofobia jauh jauh lebih sensitif pada masalah tersebut.
Artinya, untuk mengatasi fobia ini, perlu terapi yang berkaitan dengan mengontrol rasa takut, panik, dan emosi berlebih yang dihasilkan dari bagian otak tersebut. Dilansir Verywell Health, salah satu terapi yang sering dilakukan adalah cognitive-behavioral therapy atau CBT. Terapi ini akan dijalani oleh seseorang dengan akrofobia lewat memberikan simulasi situasi yang sama pada fobia yang dimiliki secara bertahap dan terukur. Dalam proses CBT, pengidap akrofobia akan diajarkan untuk mengontrol reaksi panik dan memperoleh kembali kontrol emosi ketika menghadapi situasi yang memicu fobia.
Terapi lain yang umum dicoba adalah exposure therapy. Terapi yang satu ini dilakukan dengan cara yang mirip seperti CBT, yakni pemberian simulasi pada fobia yang dimiliki seseorang secara terukur. Bedanya, simulasi yang diberikan ini akan terus diulang-ulang sampai pengidap fobia (dalam kasus ini akrofobia) mengalami penurunan rasa cemas terhadap hal yang sama.
Ketika akrofobia sudah menimbulkan komplikasi medis, biasanya pasien akan diberikan obat tertentu untuk mengatasi rasa takut dan kecemasan berlebih. Selain itu, dokter atau ahli terapi juga akan menyarankan untuk rutin melakukan relaksasi dan meditasi supaya pikiran jauh lebih rileks, baik saat menghadapi fobia ataupun pada kondisi normal.
Pada akhirnya, orang yang mengidap fobia pada ketinggian alias akrofobia itu masih bisa mendaki gunung. Hanya saja, perlu persiapan dan penilaian lebih dari diri orang tersebut sebelum, saat, dan setelah mendaki gunung. Jangan sampai demi menyalurkan hobi, kita memaksakan diri secara berlebihan hingga membahayakan tubuh. Kalau tetap berminat, selalu ingat untuk mengonsultasikan kondisi akrofobia dengan ahlinya sebelum merencanakan pendakian gunung, ya!
Referensi
"Acrophobia (Fear of Heights)". Cleveland Clinic. Diakses Agustus 2025.
"Can I Climb Kilimanjaro Africa If I Have a Fear of Heights". Eco-Africa Climbing. Diakses Agustus 2025.
"How to Overcome Your Fear of Heights". UK Climbing. Diakses Agustus 2025.
"Acrophobia: The Fear of Heights". Verywell Health. Diakses Agustus 2025.