Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kolaborasi Good Doctor & AstraZeneca untuk mengedukasi asma dan pengelolaannya (Dok. Grab)

Asma adalah penyakit tidak menular yang memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Menurut WHO, pada tahun 2019, sebanyak 262 juta orang terdampak asma dan sekitar 455.000 di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, survei Kesehatan Indonesia 2023 mencatat bahwa 58,3 persen penderita asma mengalami kekambuhan dalam 12 bulan terakhir. Data ini menegaskan perlunya pengelolaan asma yang lebih efektif guna menurunkan angka kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup penderita.

Meskipun asma bisa berakibat fatal, pengobatan yang tepat memungkinkan penderitanya tetap menjalani hidup aktif. Edukasi kepada pasien dan keluarganya sangat krusial agar mereka memahami cara mengelola asma dengan benar. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan asma adalah penggunaan SABA (Short-acting β2 agonist) secara bijak. Penggunaan yang berlebihan justru dapat memperburuk kondisi asma dan meningkatkan risiko kekambuhan.

1. Risiko ketergantungan pada SABA

ilustrasi kesulitan bernapas (freepik.com/krakenimages.com)

SABA merupakan obat yang bekerja cepat untuk meredakan gejala asma dengan cara melemaskan otot-otot di sekitar saluran napas. Meskipun efektif meredakan gejala, SABA tidak mengatasi akar masalah asma, yaitu peradangan di saluran napas. Penggunaan SABA secara berlebihan dapat menurunkan efektivitas obat tersebut dan memicu kekambuhan asma yang lebih parah.

Global Initiative for Asthma (GINA) merekomendasikan agar SABA tidak lagi digunakan sebagai terapi tunggal untuk meredakan gejala asma. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa penggunaan SABA tunggal secara berlebihan justru meningkatkan risiko kekambuhan asma. Edukasi masyarakat dan pasien asma terkait penggunaan SABA menjadi hal yang semakin penting.

2. Temuan dari studi SABINA

Editorial Team

Tonton lebih seru di