Sudah sewajarnya lewat data-data ini kamu pasti berpikiran bahwa semua seniman itu bahagia dan punya kesehatan mental yang baik mengingat mereka bisa menyalurkan pikiran serta beban mentalnya ke karya mereka. Nyatanya tidak demikian.
Astrid menerangkan bahwa ada perbedaan yang begitu terasa dari seseorang yang sekadar berkesenian demi menyalurkan beban mentalnya dengan seniman yang merasa berkewajiban harus terus menerus membuat karya seni “Perbedaannya terletak dari proses kreatifnya.”
Analoginya seperti ini: beban mental tersimpan dalam diri kita seperti sampah yang disimpan dalam suatu bejana. Lama kelamaan sampah itu akan menumpuk jika tidak dikeluarkan dan itu membuatnya menjadi tidak sehat. Lewat berkesenian, sampah-sampah itu dikeluarkan dengan dijadikan sebagai material utama karya seni tersebut yang mana membuat bejana ini menjadi kosong dan bersih, satu indikasi kesehatan mental kita yang baik-baik saja.
Bagaimana dengan kasus seniman? Proses kreatif yang dilaluinya pada mulanya serupa, yaitu menggunakan sampah mental sebagai bahan dasar berkarya seni. Namun dengan profesinya sebagai seniman, mereka dituntut untuk terus memproduksi seni tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana jika beban mental yang disimpan dalam bejana, yang dijadikan sebagai material produksi, habis dan kosong? Mau tidak mau mereka harus mengisinya dan itu bisa dilakukan secara sadar maupun tidak sadar.
Proses pengisian beban mental inilah yang dapat mengakibatkan seniman punya kesehatan jiwa yang jelek. Bisa jadi apa yang mereka isi malah jauh lebih banyak daripada apa yang mereka keluarkan.
“Jadi jangan kaget jika ada seniman yang perlu menggunakan narkoba, macam LSD, agar dapat mencipta,” ujar Astrid.
Dalam kasus lain, seniman tersebut tak punya cara lain mengingat mereka memang punya gangguan mental yang tidak bisa disembuhkan.
“Contoh saja pelukis Affandi yang punya skizofrenia,” tukasnya lebih lanjut.