Ableisme: Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas

Prasangka sosial berupa tidak simpatik pada individu cacat

Ableisme mengacu pada prasangka dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Gagasan ini berakar pada penyimpangan berpikir bahwa penyandang disabilitas lebih rendah dibandingkan orang lain. Asumsi tersebut menciptakan stereotip yang berbahaya dan tidak adil bagi penyandang disabilitas.

Praktik diskriminasi pada kasus ableisme dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Di sisi lain, ada paham dalam masyarakat (yang meskipun tidak tertulis) menyatakan, ada cara yang benar bagi tubuh dan pikiran untuk berfungsi. Siapa pun yang dirasa "berbeda" dianggap inferior. Memprihatinkannya lagi, ableisme dapat muncul dalam berbagai cara mulai dari ranah pribadi sampai institusional.

1. Sejarah singkat ableisme

Ableisme: Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitasilustrasi disabilitas fisik (pexels.com/Anas Aldyab)

Istilah ableisme disebarkan pada tahun 1980-an oleh para feminis di Amerika Serikat. Namun, kata ini dituliskan pertama kali digunakan dalam siaran pers oleh otoritas lokal Inggris, Haringey London Borough Council pada tahun 1986.

Bicara perihal sejarah ableisme, praktik diskriminasi tersebut nampaknya sudah ditemukan sejak Abad Pertengahan. Pada saat itu, orang difabel dianggap kerasukan setan atau roh jahat. Akibatnya, mereka tidak diberi perawatan hidup yang layak.

Ableisme memiliki korelasi terhadap gerakan Eugenika yang digaungkan sekitar tahun 1800-an. Eugenika merupakan konsep rasis yang mendorong pengendalian populasi melalui mekanisme tertentu seperti sterilisasi paksa dan pemeriksaan pernikahan. Ini juga bisa diartikan sebagai filosofi sosial yang berfokus pada perbaikan ras manusia sehat dengan membuang orang-orang berpenyakit dan/atau cacat.

2. Tipe ableisme

Ableisme: Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitasilustrasi para penyandang disabilitas tersenyum (pexels.com/ELEVATE)

Ableisme dapat bermanifestasi ke dalam berbagai cara di beberapa tingkatan, seperti:

  • Tingkat institusional: Memberi dampak pada institusi tertentu, seperti kemampuan medis yang berakar pada gagasan bahwa kecacatan adalah masalah yang perlu diperbaiki. Ketika hal ini menjadi bagian dari pengajaran dan kebijakan medis, maka akan memengaruhi seluruh sistem perawatan kesehatan.
  • Tingkat inerpersonal: Terjadi dalam interaksi dan hubungan sosial. Misalnya, orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas mungkin mencoba untuk “menyembuhkan” kecacatan daripada menerima kondisi anak
  • Tingkat internal: Terjadi ketika seseorang secara sadar atau tidak, percaya pada desas-desus berbahaya tentang disabilitas dan menerapkannya pada diri sendiri.

Sementara itu, kajian dalam Journal of Social Issues tahun 2019 mengategorikan ableisme dalam beberapa bentuk, seperti:

  • Hostile ableism: Termasuk perilaku agresif secara terbuka, seperti intimidasi, pelecehan, dan kekerasan pada penyandang disabilitas.
  • Benevolent ableism: Memandang penyandang disabilitas sebagai orang yang lemah dan membutuhkan bantuan.
  • Ambivalent ableism: Kombinasi dari praktik menasihati dan bermusuhan. Misalnya, seseorang mungkin memulai interaksi sosial dengan cara yang menggurui, kemudian beralih bermusuhan jika orang tersebut keberatan dengan perilakunya.

Baca Juga: 6 Film yang Dianggap Melanggengkan Ableisme, Agak Laen Salah Satunya

3. Praktik ableisme di kehidupan sehari-hari

Ableisme: Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitasilustrasi berinteraksi dengan penyandang disabilitas (pexels.com/Marcus Aurelius)

Ableisme tidak selalu mengarah pada praktik diskriminasi bagi penyandang disabilitas. Pasalnya, ini juga bisa terjadi dengan cara yang halus. Beberapa tindakan yang tergolong ableisme, terdiri atas:

  • Diskriminasi secara langsung: Didasarkan pada tindakan mengucilkan orang cacat. Contohnya menolak mempekerjakan individu penyandang disabilitas, mengajukan pertanyaan yang menyinggung tentang kondisinya, serta tidak menyediakan layanan dan ruang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
  • Mikroagresi: Praktiknya mungkin lebih halus, tapi ini tetap berkaitan dengan ableisme. Contohnya adalah menganggap penyandang disabilitas sebagai individu yang tidak mampu, tidak berdaya, dan individu abnormal.

Penting untuk dipahami bahwa kebanyakan penyandang disabilitas tidak menjadikan orang lain sebagai penolong baginya untuk bangkit. Sebaliknya, mereka memerlukan peran orang lain untuk memastikan bahwa dirinya dianggap sebagai manusia seutuhnya.

4. Dampak ableisme

Ableisme: Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitasilustrasi laki-laki meraba tulisan Braille (pexels.com/cottonbro)

Tindakan ableisme sangat merugikan penyandang difabel. Tidak jarang, prasangka dan diskriminasi yang dianggap "biasa" di masyarakat dapat memengaruhi kondisi psikologis. Ranah kehidupan lain yang juga terkena dampaknya adalah:

  • Persoalan akademik, terlebih jika tidak ada modifikasi dalam kegiatan pembelajaran. 
  • Persoalan mata pencaharian, seperti susah mendapatkan pekerjaan yang layak dan diberi upah yang lebih rendah.
  • Meningkatkan risiko pelecehan, kekerasan, dan intimidasi dalam kehidupan bermasyarakat.

5. Cara menghindari praktik ableisme

Ableisme: Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitasilustrasi berteman tanpa membeda-bedakan (pexels.com/Kampus Production)

Tidak etis rasanya mengasihani atau memandang rendah seseorang hanya karena kemampuannya berbeda dengan orang lain. Bagaimanapun juga, tidak ada yang mau terlahir dengan kondisi demikian.

Ketimbang mempermasalahkan kecacatan seseorang, mengapa tidak menghargai potensi yang dimilikinya? Selain itu, kita juga bisa menerapkan praktik inklusif dan menyuguhkan ruang yang ramah disabilitas. 

Beberapa langkah sederhana untuk menghindari praktik ableisme adalah dengan: 

  • Mempelajari kondisi terkait disabilitas sehingga pikiran kita dapat lebih terbuka dengan perbedaan.
  • Menjadi pendengar yang baik ketika penyandang disabilitas mencurahkan pengalamannya.
  • Jangan ragu menentang mitos yang tidak benar di masyarakat.

Sebagai manusia yang beradab sudah seyogyanya kita saling menghargai perbedaan. Tidak bijak melakukan praktik diskriminasi, terlebih karena kondisi seseorang. 

Bagaimanapun juga, penyandang disabilitas tetap memiliki hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan hal ini secara gamblang tertuang dalam hukum konstitusi negara Indonesia.

Baca Juga: Skrining Autisme Bisa lewat Aplikasi Tentang Anak

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

@Ani412_ (Insta)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira
  • Delvia Y Oktaviani

Berita Terkini Lainnya