illustrasi pembalut dan menstrual cup masa kini (pexels.com/Cliff Booth)
Dulunya, sebelum kemajuan teknologi, perempuan menggunakan bahan alami sebagai pembalut atau tampon. Pada zaman Mesir Kuno, perempuan menggunakan papirus, mengutip Blood and Milk.
Dilansir India Times, kala itu perempuan pada zaman Mesir kuno membasahi papirus, yang juga pada waktu itu digunakan untuk media menulis. Seberapa bergunanya papirus hingga saat ini masih dipertanyakan.
Orang-orang di Yunani, Roma, dan Jepang juga dulunya menggunakan bahan-bahan alami. Mereka menggunakan serat yang dibungkus pada kayu kecil untuk membuat tampon. Sementara itu, penduduk asli Amerika menggunakan lumut dan kulit kerbau. Contoh lain di Jepang, perempuan kala itu menggunakan kertas sebagai tampon.
Mengutip The Atlantic, orang-orang di Indonesia dulu menggunakan serat dari sayuran untuk menangani menstruasi.
Sebelum perkembangan teknologi, orang-orang dulu menggunakan bahan alami sebagai pembalut maupun tampon. Namun, apakah itu aman? Misalnya, mengutip The Swaddle, spons alami dari lautan atau serat lainnya sebetulnya punya daya serap yang tinggi. Namun, bila prosesnya tidak benar, ada risiko infeksi.
ilustrasi pembalut dari kertas (unhcr.org)
Pembalut berbahan papirus juga masih digunakan hingga kini. Hanya saja pembuatannya lebih modern. Salah satu dokter yang mengembangkan teknologi ini adalah Dr. Moses Kizza Musaazi dari Departemen Teknologi Universitas Makerere Uganda.
Pembalut ini ditujukan untuk di negara-negara berkembang seperti Uganda, dan dijual dengan harga US$0,05 atau setara dengan Rp712. Mengutip United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), pembalut berbahan kertas ini juga aman karena telah disterilkan oleh sinar matahari. Daya serapnya pun cukup baik.