Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi main game di HP Samsung Galaxy S25 Ultra (IDN Times/Misrohatun)
ilustrasi main game (IDN Times/Misrohatun)

Intinya sih...

  • Pembatasan game online diperlukan sebagai langkah pencegahan perilaku berisiko di kalangan remaja.

  • Game online harus dikontrol karena dapat menimbulkan kecanduan dan paparan konten negatif.

  • Pendampingan orang tua itu wajib agar remaja menggunakan teknologi secara bijak dan produktif.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pasca peristiwa ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, Presiden Prabowo Subianto menggulirkan wacana pembatasan game online sebagai langkah pencegahan terhadap perilaku berisiko di kalangan remaja.

Dari sudut pandang psikolog, kebijakan ini dinilai memiliki dasar yang kuat, mengingat game online memang punya dua sisi. Di satu sisi, game bisa menjadi ruang belajar, seperti melatih kreativitas, strategi, bahkan kemampuan berpikir kritis. Namun di sisi lain, tanpa kontrol, game dapat menjerumuskan remaja pada kecanduan dan paparan konten kekerasan.

Masa remaja sendiri adalah fase yang unik. Secara fisik mereka tampak dewasa, tetapi bagian otak yang berperan dalam mengambil keputusan dan membedakan benar-salah belum matang sepenuhnya. Itulah sebabnya mereka lebih mudah terpengaruh oleh algoritma dan arus konten negatif di dunia maya.

Karena itu, pembatasan saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah pendampingan dan edukasi dari orang tua. Dengan begitu, remaja tidak hanya sekadar dibatasi, tetapi juga diarahkan untuk menjadikan teknologi sebagai sarana yang bijak dan produktif, bukan jebakan yang menguras waktu dan energi.

Game online harus dikontrol

Praktisi parenting, Novita Tandry, mengatakan bahwa game online memang harus dikontrol karena bisa membuat penggunanya menjadi kencanduan.

"Kita bisa lihat, banyak yang sampai lupa makan, lupa minum, dan sebagainya—hal seperti itu memang terjadi. Game online ini juga tidak semuanya baik, karena kita bisa melihat adanya unsur kekerasan di sana. Ada juga fitur kamera dan bisa digunakan untuk texting," ujarnya kepada IDN Times.

Novita setuju jika game online dibatasi dengan benar-benar melihat jenis-jenis gamenya karena ada yang bisa melatih kreativitas sampai berpikir strategis. Dalam artian, tidak semuanya negatif.

Anak belum bisa memilah mana yang baik dan buruk

ilustrasi anak main game di HP (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Novita lebih dalam menjelaskan bahwa usia remaja masih dalam masa perkembangan, terutama dalam hal kemampuan memilah yang baik dan buruk. Game online bagi remaja bisa menjadi tantangan karena mereka belum sepenuhnya bisa menyaring.

"Bahkan ada bagian otak yang disebut prefrontal cortex atau lobus frontal, yaitu otak bagian depan yang berfungsi sebagai fungsi eksekutif untuk memilah mana yang benar dan salah, mana yang baik dan tidak, mana yang boleh dan tidak boleh. Bagian otak ini masih dalam tahap perkembangan dan baru berkembang sempurna di usia sekitar 25 tahun," jelasnya lebih lanjut.

Pada usia remaja, semua informasi masuk tanpa filter, tergantung algoritma yang masuk ke kepala mereka. Jadi, apa pun yang mereka lihat bisa dianggap sebagai kebenaran.

"Kalau gadget yang digunakan dan kontennya positif, hasilnya juga bisa baik. Banyak yang tidak bisa bahasa Inggris, tapi jadi mahir hanya karena mendengarkan rapper. Banyak yang bisa memasak, baking, atau belajar pertukangan dari YouTube. Tapi banyak juga yang belajar hal berbahaya, seperti membuat peledak—dan inilah yang terjadi," Novita mengatakan.

Dia menekankan tugas orang tua bukan hanya sebatas melahirkan anak, tetapi juga mendampinginya dan mendidiknya. Usia anak bukan hanya 0 sampai 6 tahun, tapi 0 sampai 18 tahun. Dan, selama masa itu, mereka tetap butuh bimbingan dan arahan.

Editorial Team