Perbandingan Kandungan Gizi ASI dan Susu Formula Bayi, Apakah Mirip?

Ahli kesehatan di seluruh dunia sepakat bahwa pemberian ASI eksklusif pada bayi baru lahir hingga usia 6 bulan dan dilanjutkan hingga 12 bulan adalah langkah ideal untuk mendukung tumbuh kembang si kecil. Namun, karena beberapa alasan, ibu yang baru melahirkan mungkin tidak bisa memberikan ASI yang cukup, sesuai, atau memadai untuk bayinya. Kondisi ini kemudian membuat sebagian ibu memberikan susu formula kepada bayi.
Susu formula bayi adalah produk susu yang diproduksi secara industri dengan meniru kandungan nutrisi ASI semaksimal mungkin. Hal ini dimaksudkan agar produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan si kecil dengan baik. Pada beberapa kondisi, penggunaan susu formula bisa menjadi alternatif terbaik ketika bayi tidak bisa mendapatkan ASI. Namun, susu formula bukanlah pilihan yang selalu tepat untuk semua bayi.
Meski telah dibuat semirip mungkin, susu formula tetap tidak bisa menduplikasi gizi di dalam ASI. Dilansir laman University of Nevada, Reno Extention, setelah 50 tahun lebih, sains tidak dapat menduplikasi ASI dengan 200 lebih komponen bioaktifnya. Artinya, meski sering kali dianggap pengganti yang sama seperti ASI, susu formula tak semirip itu dengan ASI.
Nah, penjelasan di bawah ini mengupas perbandingan nutrisi ASI dan susu formula secara lebih rinci. Tujuannya, agar bisa menjadi pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menyusui dan penggunaan susu formula ketika diperlukan. Simak terus, ya!
1. Kandungan nutrisi makro pada ASI dan susu formula
Baik ASI maupun susu formula menyediakan nutrisi makro. Contohnya lemak, karbohidrat, dan protein. Ini adalah nutrisi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang besar. Perbedaannya, pada ASI, kandungan nutrisi ini bisa berfluktuasi atau naik-turun menyesuaikan dengan kebutuhan si kecil. Sementara itu, jumlah nutrisi susu formula konstan sesuai dengan takaran produksi yang ditetapkan.
Dalam jurnal Nutrients tahun 2016 dijelaskan, ASI yang keluar di masa awal menyusui (foremilk) akan memiliki tekstur encer dan mengandung kadar laktosa (karbohidrat) yang lebih tinggi. Ini berfungsi untuk memenuhi rasa haus bayi. Sedangkan, pada ASI yang keluar saat masa menyusui akan berakhir (hindmilk), teksturnya jadi lebih kental dengan kandungan lemak yang lebih tinggi sebagai sumber kalori bayi.
Sementara itu, kandungan protein dalam ASI cenderung mengalami penurunan seiring waktu. Pada awal menyusui, kandungan protein ASI sekitar 1,4—1,6 g/100 mL. Pada 3 hingga 4 bulan setelah menyusui, berkisar 0,8—1,0 g/100mL. Setelah 6 bulan, tersisa sekitar 0,7—0,8 g/100mL.
Berbeda dengan protein dan lemak, kandungan laktosa dalam ASI matang (setelah 21 hari pascamelahirkan) cukup konstan. Hal ini karena konsentrasi laktosa yang stabil dibutuhkan untuk menjaga tekanan osmotik konstan dalam ASI.
Selain itu, di dalam ASI, juga terdapat banyak senyawa bioaktif berbasis karbohidrat, seperti oligosakarida. Jika usus kecil bayi tidak dapat menghasilkan cukup enzim laktase untuk mencerna laktosa, maka ini bisa menyebabkan gangguan penyerapan laktosa dan sindrom intoleransi.
Menariknya, meski jumlah nutrisi makro pada ASI berfluktuasi, ASI hampir selalu bisa mencukupi semua kebutuhan bayi. Bahkan, ketika nutrisi ibu tidak mencukupi sekalipun. Keunggulan ini mungkin tidak dijumpai pada produk susu formula. Hal ini karena susu formula dibuat dengan takaran tertentu sehingga tidak sefleksibel ASI dalam memenuhi kebutuhan gizi bayi baru lahir.