Jika kamu merasa label makanan "alami" dan "organik" itu adalah hal yang sama, kamu salah.
Untuk sebuah produk bisa menyertakan label "organik" dalam kemasannya, itu harus didapat lewat proses sertifikasi. Menurut keterangan di laman Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM), makanan organik didefinisikan sebagai makanan yang dalam proses penyediaannya tidak melibatkan pestisida atau bahan kimia sejenis maupun rekayasa genetika, berlaku untuk makanan nabati maupun hewani.
Untuk makanan yang berasal dari tumbuhan baik sayur maupun buah (nabati), seluruh proses pembuatannya dari persiapan lahan, penanaman maupun perawatan menggunakan teknologi yang alami.
Begitu pula untuk makanan hewani, teknologi yang digunakan selalu mengacu pada metode organik seperti ternak sapi atau ayam yang dalam pemeliharaannya tidak menggunakan hormon pengatur tumbuh (pemacu).
Jadi, jika sebuah produk dilabeli "organik", makan produk tersebut harus mematuhi standar yang telah ditetapkan badan atau institusi terkait, yang mencakup aplikasi yang panjang, pencatatan menyeluruh, dan inspeksi tahunan.
Bagaimana dengan produk dengan label "alami" atau "natural"? Mungkin ini lebih tricky, karena klaim tersebut jauh lebih "santai" ketimbang label organik, karena tidak membutuhkan standar atau persyaratan tertentu.
Makanan yang diberi label "alami" atau "natural" tidak menjamin dibuat dengan bnahan organik, atau bahkan bahan pembuatnya lebih berkualitas atau lebih bernutrisi.
Melansir The Healthy, meski tidak ada persyaratan untuk produk dengan klaim alami, label semacam itu harus akurat. Misalnya, produk daging diklaim "alami" karena hewan ternaknya tidak diberi makan antibiotik atau hormon, makan pada kemasan produk harus menyertakan keterangan tersebut.