ilustrasi terapi (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya chatbot seperti ChatGPT, banyak fenomena orang-orang menjadikan chatbot sebagai teman untuk bercerita. Menurut Jennyfer, ini memang bisa membantu banyak orang dalam mengelola pikiran dan emosi, terutama di saat-saat sunyi seperti malam hari ketika overthinking kerap muncul.
"Chatbot bisa sebagai 'first aid', tetapi bukan therapist. Ketika tidak ada teman bercerita, kita jadi berkutat pada pikiran yang mungkin bisa mengacu ke pikiran intrusif. Jadi, cerita ke chatbot bisa jadi 'pertolongan pertama' biar pikiran kita sedikit lebih terarah," ungkapnya
Walaupun banyak orang memanfaatkan prompt seperti “act as therapist” agar respons terasa lebih profesional, tetapi Jennyfer mengingatkan bahwa chatbot merespons berdasarkan data literal, bukan pemahaman emosional.
"Bahkan coba tanya ke chatbot, 'Apakah kamu bisa menjadi psikologku? Apakah kamu bisa memberikan diagnosis?' Chatbot saja mengakui bahwa dia tidak bisa,” tegasnya.
Bukan cuma sekadar validasi, proses terapi dengan psikolog melibatkan hubungan manusia yang otentik, termasuk tantangan emosional dan intelektual.
"Jadi tetap aku sarankan buat ke psikolog/psikiater untuk assessment psikologis ya. Koneksi sesama manusia itu penting. Koneksi perasaan itu penting. Terlebih psikolog bukan cuman buat validasi, tapi challenge kamu buat berpikir lebih mendalam walau mungkin tidak selalu nyaman dalam prosesnya," tutupnya.
Tren What's My Curse menjadi cerminan akan kebutuhan manusia untuk memahami diri dan didengar. Namun, penting untuk tetap bijak dalam menanggapinya. Refleksi diri boleh, tetapi jangan sampai kehilangan arah atau menggantungkan makna hidup pada sistem yang tak benar-benar mengenal kita.