Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi vaksin (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi vaksin (IDN Times/Aditya Pratama)

Intinya sih...

  • Penggunaan aluminium sebagai ajuvan dalam vaksin bukanlah hal baru atau sembarangan. Selama puluhan tahun, aluminium membantu membuat vaksin lebih efektif dengan merangsang respons imun tubuh agar lebih optimal.

  • Jumlah aluminium dalam vaksin sangat kecil. Kandungan aluminium di dalam satu dosis vaksin setara dengan jumlah aluminium yang bisa ditemukan dalam satu liter susu formula bayi.

  • Penelitian terbesar di Denmark baru-baru ini membuktikan bahwa aluminium yang ditambahkan ke vaksin anak tidak menimbulkan bahaya.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Salah satu kunci keberhasilan vaksin modern ada pada zat bernama ajuvan. Ajuvan adalah bahan tambahan yang dicampurkan ke dalam vaksin untuk meningkatkan efektivitas, kualitas, keamanan, dan daya tahan perlindungan di dalam tubuh.

Salah satu ajuvan yang paling sering digunakan dalam vaksin untuk manusia adalah garam aluminium (aluminum salt). Kehadirannya ini membuat vaksin yang terbuat dari komponen yang dimurnikan atau dilemahkan—yang sebetulnya sulit membangkitkan respons kekebalan—menjadi lebih ampuh.

Tanpa adanya ajuvan, dosis imunisasi yang dibutuhkan akan berkali-kali lipat lebih banyak.

Lewat kontribusi kecilnya ini, garam aluminium telah mendukung pendistribusian miliar dosis vaksin ke seluruh dunia dan menyelamatkan jutaan nyawa. Namun sayangnya, di balik peran penting ini, vaksin yang mengandung aluminium justru sering disalahpahami.

Di tengah derasnya informasi—dan misinformasi—di media sosial, banyak klaim yang menghubungkan ajuvan aluminium dengan berbagai penyakit kronis, padahal keterkaitan tersebut belum terbukti secara ilmiah. Misinformasi inilah yang sering menumbuhkan keraguan terhadap vaksin, padahal manfaatnya bagi kesehatan masyarakat jauh lebih besar dibandingkan dengan risiko yang belum terbukti itu.

Aluminium dalam vaksin

Manfaat aluminium sebagai ajuvan sebenarnya sudah ditemukan sejak tahun 1926. Sejak saat itu, aluminium digunakan dalam berbagai vaksin yang direkomendasikan secara rutin, seperti vaksin hepatitis A, hepatitis B, vaksin kombinasi difteri-tetanus, vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib), HPV, meningokokus B dan ABCWY, serta vaksin pneumokokus. Aluminium juga sering dipakai dalam vaksin kombinasi yang mengandung vaksin-vaksin tersebut.

Namun, perlu dicatat, aluminium tidak digunakan untuk vaksin berisi virus hidup yang dilemahkan, misalnya vaksin campak, gondongan, rubela, cacar air, dan rotavirus.

Sebelum izin edar diberikan, vaksin yang mengandung ajuvan, termasuk aluminium, selalu melewati serangkaian uji klinis yang ketat.

Jumlah aluminium dalam vaksin

Jumlahnya sangat kecil. Kandungan aluminium di dalam satu dosis vaksin setara dengan jumlah aluminium yang bisa ditemukan dalam satu liter susu formula bayi. Sebagai gambaran: bayi akan menerima sekitar 4,4 miligram (mg) aluminium dari vaksin selama enam bulan pertama kehidupannya. Jumlah ini lebih kecil dibanding aluminium yang mereka dapat dari makanan sehari-hari.

  • Bayi yang disusui ASI bisa mendapat sekitar 7 mg aluminium dari ASI dalam enam bulan pertama.

  • Bayi yang minum susu formula biasa akan mendapat sekitar 38 mg aluminium.

  • Bayi yang minum susu formula berbasis kedelai bisa menerima hampir 117 mg aluminium.

Sebagai perbandingan, 1 mg sama dengan seperseribu gram—bayangkan kamu memotong satu kismis menjadi 1.000 bagian kecil, maka 1 mg hanya sebesar 1 potongan kecil kismis itu. Jadi, jika melihat jumlah aluminium yang diterima bayi selama enam bulan pertama:

  • Dari vaksin: sekitar 4–5 potongan kecil kismis dari 1.000 potongan.

  • Dari ASI: sekitar 7 potongan dari 1.000 potongan.

  • Dari susu formula biasa: 38 potongan dari 1.000 potongan.

  • Dari susu formula kedelai: 117 potongan dari 1.000 potongan.

Jadi, meski aluminium dalam vaksin sering disorot, tetapi jumlahnya sebenarnya sangat kecil dan masih lebih sedikit dibanding aluminium yang kamu atau bayi dapatkan dari makanan sehari-hari.

Jenis vaksin

Jumlah aluminium

Vaksin pneumokokus:

0,125 milligram per dosis (mg/dosis)

Vaksin DTaP:

<0,33 hingga <0,625 mg/dosis

Vaksin Hib:

0,225 mg/dosis

Vaksin hepatitis A (Hep A):

0,225 hingga 0,25 mg/dosis (anak-anak) 0,45 hingga 0,5 mg/dosis (dewasa)

Vaksin hepatitis B (Hep B):

0,225 hingga 0,5 mg/dosis (anak-anak) 0,5 mg/dosis (dewasa)

Vaksin Hep A/Hep B:

0,45 mg/dosis

Vaksin DTaP/inactivated polio/Hep B:

< 0,85 mg/dosis

Vaksin DTaP/inactivated polio/Hib:

0,33 mg/dosis

Vaksin human papillomavirus (HPV):

0,5 mg/dosis

Vaksin Japanese encephalitis:

0,25 mg/dosis

Vaksin meningococcal B:

0,25–0,52 mg/dosis

Vaksin meningococcal ABCWY:

0,25–1,5 mg/dosis

Vaksin Td:

<0,53–1,5 mg/dosis

Vaksin Tdap:

0,33–0,39 mg/dosis

Mengingat jumlah aluminium yang dihadapi setiap hari, jumlah aluminium dalam vaksin sangatlah kecil. Vaksin yang mengandung aluminium telah digunakan selama puluhan tahun dan telah diberikan kepada lebih dari satu miliar orang tanpa menimbulkan masalah.

Pada tahun 2000, National Vaccine Program Office (NVPO) meninjau paparan aluminium melalui vaksin dan memutuskan bahwa tidak diperlukan perubahan rekomendasi vaksin berdasarkan kandungan aluminium. Global Advisory Committee on Vaccine Safety, bagian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga telah menelaah studi-studi terkait dan tidak menemukan bukti risiko kesehatan yang memerlukan perubahan dalam kebijakan vaksin.

Sebagai perbandingan, ini jumlah aluminium dalam zat lain

Sebagai contoh, ini jumlah aluminium dalam zat lain.

Nama zat

Jumlah aluminium

Air susu ibu (ASI)

0,04 miligram per liter (mg/L)

Kolam, danau, sungai

0,1 mg/L

Susu formula

0,225 mg/L

Susu formula berbahan kedelai

0,46 hingga 0,93 mg/L

Buffered aspirin

10 hingga 20 mg/tablet

Antasida

104–208 mg/tablet

Penelitian tidak menemukan risiko kesehatan dari aluminium dalam vaksin anak-anak

ilustrasi pelaksanaan vaksinasi anak di Kabupaten Tasikmalaya (IDN Times/Yudi Rohmansyah)

Sebuah penelitian besar di Denmark, yang disebut pakar sebagai “yang terbesar dan paling meyakinkan,” membuktikan bahwa aluminium yang ditambahkan ke vaksin anak tidak menimbulkan bahaya.

Penelitian ini melibatkan lebih dari 1,2 juta anak yang lahir antara tahun 1997 dan 2018, dan memeriksa apakah ada kaitan antara paparan aluminium dalam vaksin dengan berbagai penyakit kronis seperti autisme, asma, alergi, dan gangguan autoimun. Hasilnya, tidak ditemukan peningkatan risiko pada anak-anak yang menerima lebih banyak vaksin yang mengandung aluminium.

Selama rentang waktu 24 tahun, tim peneliti dari Statens Serum Institut, Universitas Kopenhagen memantau anak-anak hingga lima tahun setelah menerima vaksin, mencari peningkatan pada 50 penyakit kronis yang berbeda, mulai dari autisme dan ADHD hingga eksim, radang sendi remaja, berbagai alergi dan kondisi autoimun.

Studi tersebut tidak menemukan peningkatan risiko yang signifikan secara statistik terhadap masalah kesehatan tersebut di kalangan anak-anak yang menerima vaksin yang mengandung garam aluminium dibandingkan dengan mereka yang menerima lebih sedikit vaksin tersebut.

Kenapa temuan studi ini penting? Kekhawatiran tentang aluminium dalam vaksin sering dipicu oleh informasi keliru yang beredar di internet. Namun, data nyata dari program imunisasi Denmark—yang terus berubah jenis vaksinnya dari waktu ke waktu—menunjukkan bahwa variasi jumlah aluminium tidak berdampak negatif pada kesehatan jangka panjang anak.

Kekuatan utama penelitian ini terletak pada jumlah sampel yang sangat besar dan kelengkapan data kesehatan nasional Denmark. Namun, jadwal vaksinasi di Denmark tidak sepenuhnya sama dengan jadwal vaksin di negara-negara lain. Selain itu, penelitian ini juga tidak membandingkan dengan kelompok anak-anak yang tidak divaksinasi sama sekali, karena akan tidak etis jika imunisasi rutin sengaja dihentikan hanya demi penelitian. Meski begitu, desain studi ini tetap memungkinkan para peneliti menarik kesimpulan yang sangat dapat diandalkan, setidaknya dalam konteks perawatan kesehatan anak yang mengikuti standar medis.

Berdasarkan penelitian paling besar dan paling teliti ini, vaksin yang menggunakan aluminium sebagai ajuvan terbukti aman bagi anak-anak. Di tengah kekhawatiran dan misinformasi tentang keselamatan vaksin, temuan ini menegaskan pentingnya imunisasi rutin untuk melindungi kesehatan anak.

Aluminium yang disuntikkan vs yang ditelan

Banyak orang bertanya-tanya, apa bedanya paparan aluminium dari vaksin dengan aluminium yang didapat dari makanan. Mereka berpendapat, sebagian besar aluminium yang masuk lewat makanan hanya melewati usus tanpa benar-benar masuk ke aliran darah (kurang dari 1 persen yang terserap). Sementara itu, aluminium dalam vaksin langsung masuk ke dalam aliran darah. Pernyataan ini benar, tetapi ada tiga hal penting yang perlu dipahami.

Pertama, sumber aluminium yang sampai ke darah sebenarnya tidak terlalu berpengaruh. Tubuh akan memproses aluminium dengan cara yang sama, tidak peduli dari mana asalnya, entah dari makanan, vaksin, atau sumber lainnya.

Kedua, aluminium adalah ion bermuatan positif. Ketika dimasukkan ke tubuh dalam bentuk garam (seperti dalam vaksin), aluminium akan cepat “berpasangan” lagi dengan zat lain yang bermuatan negatif lebih kuat daripada pasangan sebelumnya. Dalam darah, zat yang paling sering menjadi pasangan barunya adalah transferrin (sekitar 90 persen kasus). Citrate jadi pilihan kedua (sekitar 10 persen). Setelah bergabung dengan pasangan barunya, aluminium akan dibawa ke ginjal. Sekitar setengah dari total aluminium ini akan keluar dari tubuh dalam waktu 24 jam. Keesokan harinya, setengah dari sisa aluminium pun akan dikeluarkan lagi, dan seterusnya. Proses ini dikenal dengan istilah “half-life”, yaitu waktu yang dibutuhkan tubuh untuk mengurangi setengah dari zat tertentu.

Ketiga, sebagian kecil aluminium memang akan tersimpan di bagian tubuh lain, tetapi paling banyak akan disimpan di tulang, sebagian kecil di paru-paru, dan jumlah yang sangat kecil di jaringan lain seperti otak (sekitar 1 persen), kulit, dan kelenjar getah bening. Pola distribusi ini juga menjelaskan kenapa kelebihan aluminium pertama-tama akan berdampak pada tulang, darah, dan otak.

Meskipun jumlah aluminium dari satu suntikan vaksin bisa lebih besar daripada aluminium dari makanan pada hari itu, tetapi dalam jangka panjang justru paparan terbesar berasal dari makanan, karena kamu mengonsumsinya setiap hari. Jika kamu memperhitungkan bahwa setengah dari aluminium dalam darah dikeluarkan dari tubuh setiap 24 jam, maka setiap hari tubuh menerima tambahan aluminium baru dari makanan. Jadi, seiring waktu, sebagian besar aluminium dalam darah justru berasal dari makanan. Sementara itu, aluminium dari vaksin hanya masuk beberapa kali saja selama masa bayi (atau seumur hidup). Ketika para peneliti memeriksa kadar aluminium dalam darah setelah vaksinasi, mereka tidak menemukan lonjakan kadar aluminium akibat vaksin tersebut.

Dampak aluminium bagi kesehatan

Dampak aluminium terhadap kesehatan sebenarnya sudah cukup lama diteliti, tetapi hanya sedikit efek kesehatan yang benar-benar terbukti disebabkan oleh paparan aluminium.

Misalnya, pasien cuci darah (dialisis ginjal) pernah tercatat mengalami gangguan otak dan tulang akibat kandungan aluminium dalam cairan infus dan obat antasida yang digunakan selama bertahun-tahun. Untungnya, gangguan ini sekarang jauh lebih jarang terjadi berkat perbaikan sistem dialisis. Masalah tulang ini muncul karena penyerapan fosfat dalam tubuh terganggu ketika ada terlalu banyak aluminium. Kasus serupa juga ditemukan pada anak-anak yang mengonsumsi obat berbahan dasar aluminium dalam jumlah besar—mereka juga bisa mengalami gangguan tulang.

Ada juga dugaan bahwa beberapa penyakit otak, seperti penyakit Alzheimer, dipicu oleh penumpukan aluminium di jaringan otak. Namun, belum ada bukti konsisten bahwa kadar aluminium yang tinggi menjadi penyebabnya. Beberapa ilmuwan justru menduga, penumpukan aluminium bisa jadi akibat kerusakan jaringan otak, bukan penyebab awal penyakitnya.

Pada akhir tahun 2022, sebuah penelitian sempat terbit yang menunjukkan kemungkinan hubungan antara kandungan aluminium dalam vaksin dengan risiko asma di kemudian hari. Namun, para ahli mengingatkan bahwa data ini masih harus disikapi hati-hati dan tidak bisa langsung dijadikan kesimpulan pasti karena berbagai keterbatasan dalam studi tersebut.

Ajuvan lain dalam vaksin

ilustrasi vaksin (IDN Times/Aditya Pratama)

Beberapa vaksin yang disetujui menggunakan ajuvan lain selain aluminium.

Contohnya, vaksin untuk mencegah flu burung (H5N1 influenza) mengandung ajuvan bernama AS03, yaitu emulsi minyak-dalam-air. AS03 terbuat dari beberapa senyawa minyak seperti D,L-alpha-tocopherol (vitamin E) dan squalene, ditambah zat pengemulsi polysorbate 80 agar bahan-bahannya bisa tercampur rata dan tidak mudah terpisah, serta air yang mengandung sedikit garam.

Contoh lainnya adalah Fluad, vaksin untuk mencegah flu musiman pada orang berusia 65 tahun ke atas. Fluad mengandung ajuvan MF59, yang juga berupa emulsi minyak-dalam-air dengan bahan dasar minyak squalene.

Untuk mencegah infeksi hepatitis B pada orang berusia 18 tahun ke atas, ada vaksin Heplisav-B yang menggunakan ajuvan CpG 1018.

Untuk penanganan darurat jika terjadi paparan antraks (Bacillus anthracis), ada vaksin Cyfendus yang mengandung CpG 7909.

Ajuvan CpG 1018 dan CpG 7909 berbasis DNA sintetis.

Vaksin lain yang menggunakan ajuvan non aluminium adalah Shingrix, yang digunakan untuk mencegah herpes zoster pada orang berusia 50 tahun ke atas. Shingrix mengandung AS01B.

Ada juga vaksin Arexvy, yang digunakan untuk mencegah penyakit saluran pernapasan bawah akibat RSV pada orang berusia 60 tahun ke atas, yang menggunakan ajuvan AS01E.

Ajuvan AS01B dan AS01E dibuat dari MPL (zat mirip lemak yang dimurnikan) dan QS-21, yaitu ekstrak murni dari kulit pohon Quillaja saponaria.

Penggunaan aluminium sebagai ajuvan dalam vaksin bukanlah hal baru atau sembarangan. Selama puluhan tahun, aluminium membantu membuat vaksin lebih efektif dengan merangsang respons imun tubuh agar lebih optimal. Kandungannya pun terukur dalam jumlah sangat kecil, jauh di bawah batas yang dapat membahayakan kesehatan, dan tubuh manusia punya mekanisme alami untuk mengeluarkannya melalui ginjal.

Meski begitu, kekhawatiran masyarakat tidak bisa diabaikan. Jadi, sumber informasi yang berbasis sains dibutuhkan agar kamu bisa membedakan mana fakta, mana mitos. Dengan pemahaman yang benar, kamu bisa mengambil keputusan vaksinasi dengan tenang, bijak, dan tetap menjaga kesehatan diri sendiri maupun orang-orang di sekitar.

Referensi

Niklas Worm Andersson et al., “Aluminum-Adsorbed Vaccines and Chronic Diseases in Childhood,” Annals of Internal Medicine, July 14, 2025, https://doi.org/10.7326/annals-25-00997.

"Vaccine Ingredients: Aluminum." Children's Hospital of Philadelphia. Diakses Agustus 2025.

Jiayin Xing et al., “The Recent Advances in Vaccine Adjuvants,” Frontiers in Immunology 16 (May 13, 2025), https://doi.org/10.3389/fimmu.2025.1557415.

"Major new study finds no health risks from aluminium in childhood vaccines." GAVI. Diakses Agustus 2025.

Niklas Worm Andersson et al., “Aluminum-Adsorbed Vaccines and Chronic Diseases in Childhood,” Annals of Internal Medicine, July 14, 2025, https://doi.org/10.7326/annals-25-00997.

Matthew F. Daley et al., “Association Between Aluminum Exposure From Vaccines Before Age 24 Months and Persistent Asthma at Age 24 to 59 Months,” Academic Pediatrics 23, no. 1 (September 28, 2022): 37–46, https://doi.org/10.1016/j.acap.2022.08.006.

"Comments on Other Studies." Children's Hospital of Philadelphia. Diakses Agustus 2025.

"Common Ingredients in FDA-Approved Vaccines." U.S. Food and Drug Administration. Diakses Agustus 2025.

"Benarkah vaksin mengandung zat-zat berbahaya? (Bagian 1)" Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses Agustus 2025.

Editorial Team