TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

IDAI: Bukan Cuma Stunting, Obesitas pada Anak Juga Harus Dicegah

Dampaknya bisa jangka panjang!

ilustrasi bayi baru lahir (unsplash.com/Charles Eugene)

Setiap 4 Maret, dunia memperingati Hari Obesitas Sedunia. Bukan hanya orang dewasa, obesitas bisa terjadi sejak masa kanak-kanak. Malah, tren obesitas pada anak-anak dikhawatirkan terus meningkat di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Selain tengkes atau stunting, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan bahwa obesitas menjadi penghalang dalam tumbuh kembang anak Indonesia. Apa yang perlu kita ketahui?

Angka obesitas terus naik

ilustrasi obesitas pada anak (foodmanufacture.co.uk)

Dalam sebuah sesi daring yang dihadiri IDN Times pada Selasa (7/3/2023), Ketua Pengurus Pusat IDAI, dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), menjelaskan bahwa stunting dan obesitas adalah dua hal yang menghalangi tumbuh kembang anak. Lewat antropometri, Ia menjelaskan bahwa lewat buku kesehatan ibu dan anak (KIA), obesitas sebenarnya bisa dicegah.

"Panjang badan, berat badan menurut umur, dan berat badan menurut panjang badan, penting untuk melihat obesitas atau tidak. Kalau lebih dari tiga standar deviasi (SD), berarti masuk dalam kriteria obesitas," tutur Dr. Piprim.

Ia menyorot bagaimana peningkatan tren obesitas di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, pada 2007 angka obesitas pada usia 15 tahun ke atas masih 18,8 persen. Namun, pada 2018, angka tersebut melonjak menjadi 31 persen, dengan DKI Jakarta di tempat tertinggi kedua.

Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi IDAI, dr. Muhammad Faizi, SpA(K), mengutip data dari Global Obesity Observatory. Jika obesitas di kalangan anak-anak 1,8 persen pada 2007, pada 2018, angka ini naik ke hampir 9,2 persen.

"Dari tahun ke tahun, meningkat sekali ... Prediksinya, 2030 akan ada 9 juta lebih anak-anak dengan obesitas. Ini harusnya bisa dicegah," kata dr. Faizi.

Baca Juga: RSCM Terjunkan Tim Penyakit Langka Tangani Obesitas Bayi Kenzi Bekasi

Asupan anak jadi penyebab utama obesitas

Berbicara mengenai penyebab obesitas, dr. Piprim dan dr. Faizi sama-sama sepakat bahwa makanan bisa memengaruhi risiko obesitas. Jika indeks glikemik tinggi, gula darah dan insulin meningkat sementara glukagon turun. Akibatnya, anak menjadi lebih mudah lapar.

"Pemilihan jenis makanan amat penting. Bisa membahayakan kesehatan, hingga terjadi penumpukan lemak di jantung hingga hati," kata dr. Piprim.

Oleh sebab itu, pemberian air susu ibu (ASI) kepada anak sangat disarankan. Ini karena sering kali, orang tua kebablasan memberikan susu botol kepada anak, yang merupakan kebiasaan yang turut berkontribusi ke faktor obesitas. Tidak hanya mencegah tengkes, ASI juga dapat mencegah obesitas anak.

Makanan pendamping ASI (MPASI) dengan protein hewani juga patut diutamakan. Sebagai real food (makanan yang tak diproses), protein hewani yang dipadukan dengan serat dari sayur dan buah bisa mencegah stunting dan obesitas karena bisa mengenyangkan dalam waktu lama.

"Kalori tidak hanya sekadar kalori, tetapi lihat asal kalorinya. Jika miskin protein hewani, tidak baik untuk kesehatan anak-anak kita. Banyak makanan Indonesia yang real food, pepes ikan, rendang, opor, hingga pindang telur. Ini mengenyangkan. Tidak akan snacking," tutur dr. Piprim.

ilustrasi bayi memulai MPASI (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Lalu, bagaimana jika anak sudah keburu obesitas dan memiliki kebiasaan makan buruk? Dokter Piprim mengatakan bahwa pertama, ia harus kembali ke real food.

Pilihan makan dengan indeks glikemik tinggi (gula, karbohidrat, dan tepung) bisa memicu obesitas. Akibatnya, anak bisa mengalami sugar spike dan sugar crash, jadi anak cepat lapar sehingga cummulative energy intake berlebihan.

Oleh sebab itu, dr. Piprim menyarankan protein hewani dan mencegah karbohidrat cepat serap atau refined carbs, dan mengganti gula dengan pemanis non kalori, seperti stevia.

"Nasi saja sudah sumber gula. Tanpa tambahan gula, sebenarnya karbohidrat adalah sumber gula sendiri," kata dr. Faizi menambahkan.

Tentu saja, sebagai bagian dari pola hidup sehat demi mencegah obesitas dan stunting, olahraga (30 menit per hari atau 150 menit per minggu sesuai fisik anak) juga perlu. Namun, jika ternyata pola makan anak yang salah, disarankan untuk memperbaiki dulu pola makannya sebelum mengajak anak berolahraga.

"Peran pola makan lebih besar dibanding pola gerak. Sulit anak obesitas untuk diajak berolahraga. Setelah berubah pola makannya, bisa disertai olahraga yang sesuai usianya," ucap dr. Piprim.

Pengaruh obesitas bisa jangka panjang

Jika obesitas sejak masa kanak-kanak, dikhawatirkan anak bisa terkena penyakit degeneratif di kemudian hari. Akibat obesitas, risiko gangguan kardiometabolik ikut meningkat, seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dislipidemia, dan inflamasi. Oleh karena itu, anak dengan diabetes harus segera menerima perawatan.

"Kalau pada masa anak-anak sudah obesitas dengan sindrom metabolisme lainnya [hipertensi hingga diabetes], bisa terkena kardiovaskular di masa depan [serangan jantung sampai stroke], meningkatkan risiko kematian dan biaya kesehatan," kata dr. Piprim.

Dengan pandemik COVID-19, dr. Piprim mengatakan bahwa obesitas perlu disorot. Sebagai salah satu kategori risiko COVID-19 berat, kelompok obesitas mengalami inflamasi kronis yang bisa memicu badai sitokin.

Doktor Faizi menambahkan bahwa anak-anak yang obesitas sebelum usia taman kanak-kanak (TK) akan terus sampai tua. Rata-rata, anak dengan obeisitas mengalami kekurangan vitamin D yang berisiko bisa mengganggu pertumbuhan tulang.

"Efek psikologis berupa perundungan dan rendahnya kepercayaan diri," imbuh dr. Faizi.

Baca Juga: Kemenkes: Angka Obesitas Berisiko Naik Pesat pada 2030

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya