TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Polusi Udara Berpotensi Merusak Otak? Ini Faktanya

Usaha untuk menanggulangi polusi harus menjadi prioritas!

ilustrasi pencemaran udara (IDN Times/Nathan Manaloe)

Polusi udara memang berdampak buruk untuk kesehatan manusia. Dari enam polutan yang dikhawatirkan, partikulat halus (PM) adalah salah satu yang paling berdampak negatif.

Berdasarkan ukuran mikrometer atau mikronnya (μm), PM terbagi menjadi tiga, yaitu:

  • PM10: Virus, bakteri, hingga debu.
  • PM2,5: Partikel dari pembangkit listrik, kendaraan, hingga kebakaran hutan.
  • PM0,1: Debu sangat halus yang biasa beredar di dalam ruangan.

Lebih berbahaya dari PM2,5, PM0,1 ukurannya sangat kecil hingga bisa menyusup ke tubuh manusia tanpa diketahui hingga akhirnya menyebabkan komplikasi. Sebuah riset terbaru kembali mengemukakan dampak negatif yang dibawa oleh polusi udara terhadap otak manusia. Mari simak fakta selengkapnya berikut ini.

1. Libatkan puluhan partisipan

ilustrasi MRI untuk memetakan otak (pexels.com/Anna Shvets)

Selain berbahaya untuk jantung dan paru-paru, berbagai riset memperingatkan bahaya polutan udara untuk otak. Dimuat dalam jurnal PNAS pada 22 Juni 2022, para peneliti China dan Inggris kembali menegaskan bahaya pajanan polusi udara jangka panjang terhadap kesehatan kita.

Penelitian bertajuk "Passage of exogeneous fine particles from the lung into the brain in humans and animals" ini melibatkan sampel otak dan cairan serebrospinal (CSF) 25 pasien dengan gangguan otak yang tidak menjalani operasi di China. Sampel tersebut juga dibandingkan dengan 26 partisipan yang sehat.

Baca Juga: Gara-Gara Polusi Udara, Usia Hidup Penduduk Jakarta Berkurang 4 Tahun

2. Hasil: Paparan polusi udara berpotensi merusak otak

Hasilnya, para peneliti menemukan berbagai partikulat halus toksik dalam CSF dan darah 32 persen populasi pasien. Hasil ini lebih buruk karena partikulat halus yang merugikan tersebut hanya ditemukan pada 1 dari 26 individu yang sehat. Partikulat apa saja yang ditemukan?

Pertama, para peneliti China dan Inggris menemukan partikel mineral berbasis kalsium seperti kalsit dan aragonit yang umum digunakan di bahan konstruksi, abrasif, hingga bahan aditif farmasi. Mereka juga menemukan partikel besi dan silikon.

Selain itu, para peneliti juga menemukan partikel yang tak lazim seperti malayaite yang biasa digunakan sebagai pigmen di glasir keramik China dan anatase yang umum digunakan sebagai bahan dalam tabir surya serta pemberi pigmen cat.

3. Menurut eksperimen terhadap tikus, partikel polutan udara kemungkinan besar tetap menempel di otak lebih lama dibanding di organ lainnya

Untuk menjelaskan bagaimana partikel halus ini bisa memengaruhi kondisi otak, para peneliti China dan Inggris juga menambahkan eksperimen dengan tikus. Tikus-tikus ini dipaparkan ke partikel titanium oksida, emas, serium oksida, dan auantum dot skala nano.

Dari eksperimen tersebut, para peneliti menyatakan bahwa aliran darah adalah jalur yang dipakai partikel halus untuk bisa sampai ke otak. Partikulat halus di paru-paru bisa menembus sawar oksigen-darah ke pembuluh darah, sampai menembus sawar otak-darah untuk menempel di ventrikel otak. 

"Data ini menunjukkan jumlah partikel halus di otak yang beredar dari pembuluh darah 8 kali lebih tinggi dari paru-paru dibanding dari hidung. Ini sebuah bukti baru mengenai hubungan antara polusi udara dan efek merugikan polutan udara di otak," ujar rekan peneliti dari University of Birmingham, Inggris, Iseult Lynch.

Berita buruknya tidak sampai situ. Menurut eksperimen terhadap tikus ini, partikel polutan udara kemungkinan besar tetap menempel di otak lebih lama dibanding di organ lainnya.

Baca Juga: Studi: Paparan Polusi Udara Tingkatkan Risiko COVID-19 Parah

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya