TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Sindrom Kebocoran Kapiler Sistemik, Ini 6 Faktanya

Dialami kurang dari 1 dari 10 juta penerima AstraZeneca

ilustrasi pembuluh kapiler, target sindrom kebocoran kapiler sistemik/SCLS (verywellhealth.com)

Banyak penyakit yang tergolong langka di dunia ini. Seperti namanya, dikarenakan frekuensinya yang amat jarang, penyakit langka adalah salah satu bidang yang masih dipelajari oleh bidang kesehatan dan sains masa kini. Salah satunya adalah sindrom kebocoran kapiler sistemik atau systemic capillary leak syndrome (SCLS).

Temuan terbaru dari dunia medis mengatakan kalau sindrom langka satu ini adalah komplikasi sekunder yang dapat disebabkan oleh COVID-19. Jika mengalami sindrom ini, bagaimana jika akan divaksinasi nanti? Dan, apa yang bisa kita pelajari dari SCLS? Mari simak fakta-fakta tentang SCLS berikut ini.

1. SCLS, penyakit langka yang masih dipelajari

ilustrasi SCLS (theconversation.com)

SCLS adalah kelainan langka berupa serangan akut nan berulang terkait penurunan tekanan darah akibat kebocoran pada pembuluh kapiler. Penyakit ini ditemukan oleh dr. Bayard D. Clarkson pada tahun 1960. Oleh karena itulah, penyakit ini juga disebut penyakit Clarkson.

Menurut keterangan dari National Organization for Rare Disorder (NORD), SCLS sering terjadi pada orang dewasa dan amat jarang pada anak-anak. Serangan SCLS dapat berlangsung beberapa hari dan butuh perawatan darurat karena dapat mengancam nyawa. SCLS dapat menyebabkan komplikasi parah, dari pembengkakan tubuh hingga gagal ginjal dan stroke.

Baca Juga: Ivermectin Viral Jadi Obat COVID-19, Obat Apa sih Itu?

2. Gejala-gejala umum SCLS

perbandingan tangan biasa dan tangan bengkak akibat SCLS (theconversation.com)

Berdasarkan keterangan dari National Institutes of Health (NIH), gejala-gejala SCLS dapat berbeda pada masing-masing pasien. Beberapa dapat mengalami gejala sedikit atau banyak, dan ringan atau parah. Gejala-gejala umum SCLS mencakup:

  • Tekanan darah sangat rendah atau hipotensi ekstrem
  • Darah kehilangan albumin
  • Naiknya tingkat sel darah putih atau leukositosis
  • Pengentalan darah
  • Tubuh mengalami pembengkakan akibat retensi cairan dalam tubuh, terutama di bagian bawah atau pedal edema
  • Cairan terkumpul di paru-paru dan di sekitar jantung
  • Gagal ginjal
  • Stroke
  • Gagal jantung

Sebelum SCLS menyerang, beberapa pasien mungkin mengalami gejala batuk, kelelahan, sakit perut, dan penambahan berat badan secara mendadak. Selain itu, NIH juga mencatat beberapa gejala yang mungkin jarang terjadi seperti:

  • Inflamasi pankreas atau pankreatitis
  • Hidung meler
  • Diare
  • Nyeri otot
  • Detak jantung tak teratur atau aritmia
  • Inflamasi otot jantung atau miokarditis
  • Iritasi membran jantung atau perikarditis
  • Pembekuan darah atau trombosis di pembuluh vena

3. Dapat disebabkan juga oleh COVID-19, penyebab SCLS yang masih samar-samar

ilustrasi darah (healthengine.com.au)

Kebanyakan kasus SCLS tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik. Akan tetapi, NORD mengatakan kalau faktor genetik dapat menjadi salah satu alasannya. Kebanyakan pasien SCLS memiliki protein monoklonal atau protein M dalam darah, protein yang diproduksi oleh sel plasma di sumsum tulang.

Mengapa begitu? Beberapa penjelasan terhadap produksi protein M berlebihan dalam darah pasien SCLS adalah karena mekanisme autoimun, di mana sistem tubuh malah menyerang tubuh sendiri. Sel-sel kapiler kemungkinan besar rusak karena beberapa faktor yang memengaruhi darah saat serangan SCLS akut.

ilustrasi virus corona SARS-CoV-2 (imi.europa.eu/Image courtesy of the NIH CC 0)

Di tengah pandemi COVID-19, beberapa penelitian terkini menemukan SCLS sebagai komplikasi sekunder dari penyakit yang hadir akhir 2019 tersebut. Menurut penelitian di Prancis pada September 2020 yang dimuat dalam jurnal Rheumatology, COVID-19 dikatakan dapat memicu penyakit imun, salah satunya adalah SCLS.

Mendukung penelitian tersebut, sebuah temuan pada Desember 2020 dari AS, "Systemic Capillary Leak Syndrome Secondary to Coronavirus Disease 2019" juga mengatakan hal yang sama. Namun, dikarenakan SCLS dapat menyerupai kondisi syok sepsis dan syok anafilaksis, sering kali SCLS mengalami salah diagnosis.

4. Diagnosis untuk SCLS

Ilustrasi sampel darah. unsplash.com/National Cancer Institute

Sejak ditemukan pada 1960 hingga saat ini, kasus SCLS amat jarang terjadi yaitu kurang dari 500 saja. Akan tetapi, diduga angkanya lebih besar tetapi tidak terdeteksi karena terlambat. Diagnosis SCLS dapat terbagi jadi tiga:

  • Hipotensi
  • Naiknya tingkat hematokrit (perbandingan sel darah merah dan volume darah)
  • Rendahnya protein dalam darah atau hipoalbuminemia

Selain itu, tes-tes fisik, darah, dan laboratorium lain juga harus dilakukan untuk mengeliminasi faktor seperti infeksi dan defisiensi C-1 esterase inhibitor. Pencarian protein M wajib dilakukan. Akan tetapi, absensi protein M tidak serta-merta menyingkirkan diagnosis SCLS.

Kebocoran kapiler dapat menyebabkan hipoalbuminemia dan peningkatan tajam hemoglobin dan hematokrit. Sel darah merah sebenarnya tidak meningkat, tetapi ini membuktikan diagnosis konsentrasi darah sebagai salah satu gejala umum SCLS. Gejala ini sering disalahartikan sebagai polisitemia, produksi sel darah merah yang berlebihan.

5. Pengobatan untuk SCLS

ilustrasi pasien dirawat di rumah sakit (res.cloudinary.com)

Seperti penyakit langka dan genetik lainnya, obat untuk SCLS masih belum ditemukan. NIH mengatakan pengobatan biasanya berfokus pada serangan SCLS untuk mencegah komplikasi jangka panjang. Pengobatan saat serangan SCLS biasanya untuk menstabilkan jalur dan irama pernapasan dengan obat, hidrasi, dan terapi oksigen.

Selain itu, perawatan SCLS juga dilakukan dalam bentuk profilaksis. Obat tertentu diberikan melalui infus secara berkala untuk mencegah timbulnya serangan berikutnya. Infus immunoglobulin (IgG) amat disarankan. Jika IgG tidak berhasil atau tubuh pasien menolaknya, kombinasi obat teofilin dan terbutaline memiliki tingkat keberhasilan tinggi.

Baca Juga: Fakta soal ITP, Kelainan Darah Efek Samping Vaksin COVID-19

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya