TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Film Joker Tidak untuk Semua Kalangan, Ini 5 Sebabnya Menurut Psikolog

Secara psikologis berpengaruh bagi kondisi mental seseorang 

m.imdb.com

Film Joker yang tayang sejak 2 Oktober lalu menjadi perbincangan hangat netizen. Antusiasme penonton yang membludak menimbulkan respon positif maupun negatif. Sosok Arthur Fleck yang bertransformasi menjadi sosok Joker yang psycho menjadi diperdebatkan untuk ditonton karena akan berpengaruh bagi mental seseorang.

Ternyata film Joker ini tidak baik untuk semua kalangan. Menurut Doktor Psikologi Dedy Susanto, mengatakan bahwa film Joker berdampak buruk untuk kalangan tertentu. Mengapa demikian? Mari simak ulasannya.

1. Tidak disarankan untuk penderita mental illness

Film Joker yang menghipnotis ini menurut Dedy Susanto berbahaya untuk penderita mental illness. Orang yang mengalami moodswing, sensitif, bipolar, flat feeling, kasar, anxiety (kecemasan) disarankan untuk tidak menontonnya. Hal ini dikhawatirkan akan memperparah kondisi mental penderita mental illness

Baca Juga: Berikut 6 Aktor Pemeran Joker, Siapa Favorit Kalian?

2. Menceritakan Joker dengan kompleksnya permasalahan kehidupan dan kondisi kejiwaannya

Pexels/TrinityKubassek

Film ini menggambarkan bagaimana Arthur yang gagal dalam karirnya sebagai standup comedian, tidak dihargai oleh orang sekitar, mengalami Pseudobulbar Affect (PBA), serta delusi -mengencani tetangganya, akrab dengan tokoh selebriti Murray- serta kondisi ibunya yang mengalami gangguan mental membuat kondisi psikologis Arthur menjadi sangat kompleks. 

Hal ini tentunya banyak dialami oleh banyak orang tentang karir yang gagal dan tidak dihargai namun pada orang yang mengalami mental illness dapat membangkitkan pengalaman buruk dan pengalaman traumatisnya.

3. Pendoktrinan pura pura bahagia sejak kecil

pexels/sydneysims

Penny Fleck, ibu dari Arthur yang mengalami gangguan mental terus mendoktrin Arthur untuk selalu menampilkan tawa di manapun dan kapanpun. Ditambah Arthur yang memiliki mental illness yakni Pseudobulbar Affect (PBA) yakni gangguan emosi yang membuat penderitanya dapat tertawa atau menangis tidak pada waktunya. Yang dialami Arthur ketika terjadi sesuatu yang menyedihkan, reaksi yang terjadi pada otaknya bukanlah kesedihan namun tawa. 

Seharusnya sejak kecil anak dibebaskan mengekspresikan apa yang dirasakannya dan orangtua melatih bagaimana menyampaikan emosinya dengan baik. Namun jika sejak kecil didoktrin untuk pura-pura bahagia, maka luka batin sejak kecil akan menumpuk dan akan meledak sesuai bom waktunya nanti seperti halnya Arthur berubah menjadi sosok Joker.  

4. Dunia tidak menerima dengan baik orang yang mengalami mental illness

pexels/adrienolichon

Permasalahan kehidupan yang membuat Arthur terguncang jiwanya ditambah dengan kondisi mentalnya membuat Arthur bertransformasi menjadi sosok Joker yang jahat karena lingkungan tidak menerimanya. Joker merasa ada kepuasan batin ketika membalaskan dendam dengan cara brutal.

Padahal seorang yang mengalami mental illness sangat membutuhkan dukungan yang besar dari orang sekitarnya. Sehingga nuansa dalam film ini tidak baik untuk penderita mental illness yang sedang berjuang untuk sembuh. 

Baca Juga: 5 Sikap Positif yang Bisa Kita Contoh dari Arthur Fleck, Pemeran Joker

Verified Writer

Hesti Mahmudah

Belajar meracik kata-kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya