TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Apa yang Terjadi Bila Tubuh Jarang atau Tidak Berkeringat?

Duh! Kondisi ini ternyata bisa berakibat fatal

Pexels.com/Andrea Piacquadio

Ada orang yang baru jalan kaki 5 menit pada siang hari sudah banjir keringat, tetapi ada juga orang yang jarang atau malah tidak berkeringat padahal sudah berolahraga atau beraktivitas berat. 

Berkeringat merupakan cara tubuh mendinginkan diri. Cairan yang keluar dari kelenjar keringat menjadi metode penting bagi tubuh untuk mengatur suhu.

Dalam beberapa kasus langka, seseorang dapat mengalami kondisi ketika tubuh tidak dapat memproduksi keringat yang cukup. Kondisi ini bisa mengacu pada hipohidrosis atau penurunan produksi keringat, dan anhidrosis yakni tidak adanya keringat.

Hipohidrosis maupun anhidrosis bisa menjadi tanda dari masalah kesehatan yang serius. Kurangnya produksi keringat dapat menimbulkan gejala memerah dan kepanasan. Bila sudah parah, bisa terjadi komplikasi serius seperti kelelahan akibat panas atau sengatan panas (heatstroke).

1. Mekanisme berkeringat 

Pexels.com/Andrea Piacquadio

Tidak jarang suhu udara lebih tinggi dari suhu kulit manusia. Berkeringat menjadi satu-satunya cara untuk menurunkan suhu tubuh dan mencegah kepanasan.

Ketika suhu tubuh menjadi terlalu panas, hal tersebut dirasakan oleh hipotalamus di otak. Kemudian, hipotalamus mengirimkan sinyal melalui sistem saraf simpatetik ke kelenjar keringat untuk meningkatkan produksi keringat.

Selain akibat dari kondisi medis yang mendasarinya, cara tubuh memproduksi keringat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti aklimatisasi (penyesuaian fisiologis terhadap lingkungan), ketinggian, status cairan tubuh (seperti dehidrasi), dan lain-lain.

Baca Juga: Tiba-tiba Keringat Dingin? Bukan Cuma Gugup, Kenali 5 Penyebabnya

2. Gejala yang ditunjukkan 

unsplash.com/Haley Lawrence

Melansir Verywell Health, gejala kurang berkeringat mencakup kepanasan, kesulitan atau ketidakmampuan untuk mendinginkan diri setelah kepanasan, tak mampu menoleransi panas, sakit kepala ringan, merasa lemah, mual, palpitasi, muncul ruam, nyeri atau kesemutan di anggota gerak, serta kram otot di lengan, kaki, perut, atau punggung dan sering kali berlangsung dalam jangka waktu lama.

Sementara itu, melansir Mayo Clinic, konsekuensi dari kekurangan atau tidak adanya keringat di antaranya adalah:

  • Heat rash atau ruam panas: mirip dengan jerawat dan paling sering terjadi di dekat lipatan kulit seperti leher, selangkangan, dan lipatan siku.
  • Heat cramps: yakni kejang otot hebat akibat panas. Ini mungkin merupakan tanda awal dari komplikasi lebih lanjut.
  • Heat exhaustion (kelelahan akibat suhu tinggi): sering kali ditandai dengan kulit dingin, pucat, dan lembap, serta disertai keringat yang banyak. Debar jantung meningkat disertai denyut nadi yang lemah dan gejala lain seperti kram otot, mual, dan pusing sering menyertai.
  • Heatstroke: merupakan keadaan darurat medis yang ditandai dengan peningkatan suhu, kulit panas dan memerah, denyut jantung jadi cepat, sakit kepala atau pusing, hingga berimbas pada hilangnya kesadaran.

Penting untuk digarisbawahi, meskipun masalah medis yang disebutkan lebih sering terjadi pada orang dengan hipohidrosis atau anhidrosis, faktanya hal tersebut bisa juga terjadi pada orang dengan produksi keringat yang normal. Untuk itu, kita harus tahu apa saja gejala yang ditunjukkan.

3. Apa penyebabnya?

pexels.com/Marcus Aurelius

Seseorang dapat mengembangkan hipohidrosis atau anhidrosis dikarenakan beberapa faktor yang mendasari. Faktor genetik misalnya, telah dikaitkan dengan hipohidrosis atau anhidrosis yang mencakup displasia ektodermal hipohidrotik, penyakit Fabry, sindrom Ross, tidak adanya kelenjar keringat bawaan, dan ketidakpekaan bawaan terhadap nyeri dan anhidrosis.

Faktor selanjutnya adalah kondisi kulit seperti adanya luka bakar, kerusakan kulit akibat radiasi, psoriasis, dan kusta. Faktor lainnya yaitu kondisi sistem saraf pusat yang terkait dengan hipohidrosis atau anhidrosis, seperti stroke, multiple sclerosis, multiple system atrophy , penyakit Parkinson, Lewy body dementia, dan sindrom Shy-Drager.

Faktor yang melibatkan sistem saraf perifer seperti cedera pada saraf otonom, penyakit Harlequin, dan sindrom Guillain-Barré mungkin juga bertanggung jawab atas penurunan produksi keringat.

Faktor gangguan autoimun seperti penyakit lupus, skleroderma, sklerosis sistemik progresif, dan sindrom Sjögren juga dapat memengaruhi mekanisme tubuh dalam memproduksi keringat.

Konsumsi obat-obatan seperti toksin botulinum tipe A, morfin, dan antipsikotik dapat mengganggu fungsi kelenjar keringat yang berdampak pada penurunan jumlah keringat.

4. Bagaimana cara diagnosisnya?

pexels.com/bongkarn thanyakij

Dokter akan melakukan serangkaian prosedur diagnosis. Bisa diawali dengan evaluasi riwayat kondisi fisik yang berkaitan dengan gejala neurologis atau cedera terkait panas. Selanjutnya, bisa dilakukan tes khusus seperti tes keringat yang terdiri dari:

  • Tes keringat termoregulasi
  • Silastic sweat imprint test
  • Tes refleks akson sudomotor kuantitatif (QSART)
  • Respons kulit simpatetik

Selanjutnya, dokter mungkin juga akan melakukan pemeriksaan laboratorium seperti pengujian genetik (jika penyebabnya adalah bawaan sejak lahir) atau biopsi kulit (dalam kasus yang jarang).

Dokter juga mungkin akan menyarankan CT scan dan MRI, terlebih lagi jika sistem saraf pusat atau kelainan sumsum tulang belakang dicurigai menjadi penyebab yang mendasarinya. 

Baca Juga: Punya Keringat Berlebih? 8 Hal Ini Bisa Jadi Penyebabnya Lho!

Verified Writer

Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya