TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pedophilia OCD (POCD): Gejala, Penyebab, Perawatan

Pikiran mengganggu yang melibatkan ketakutan menjadi pedofil

ilustrasi laki-laki pengidap POCD (pixabay.com/Fotorech)

Pedophilia obsessive compulsive disorder (POCD) adalah subtipe OCD dengan pikiran mengganggu berdasarkan ketakutan menjadi pedofil. Pikiran obsesif ini menyebabkan kecemasan dan perilaku kompulsif. Dampak tersebut menyebabkan gangguan serius pada kehidupan pengidapnya.

Kondisi ini cenderung mengakibatkan kepanikan, kesedihan, perasaan malu, dan depresi. Penting untuk dipahami bahwa POCD bukan pedofil. Sebaliknya, orang dengan POCD tidak memiliki kecenderungan pedofilia, justru malah tersiksa oleh pikiran tersebut.

1. Gejala

ilustrasi laki-laki sedang berpikir (pixabay.com/StockSnap)

Obsessive compulsive disorder (OCD) dapat dikategorikan sebagai gangguan keraguan. Obsesi ialah pikiran atau dorongan terus-menerus dan tidak diinginkan yang menyebabkan kesusahan. Obsesi umum dalam kasus POCD termasuk:

  • Gambaran seksual anak-anak yang tidak diinginkan muncul.
  • Pikiran seksual yang tidak diinginkan tentang anak-anak tiba-tiba hinggap dalam benak.
  • Mempertanyakan beberapa pertanyaan yang tiba-tiba terbesit, seperti bagaimana jika aku seorang pedofil? Bagaimana jika aku menjadi seorang pedofil? Bagaimana jika aku jatuh cinta dengan seorang anak? Bagaimana jika aku terangsang atau tertarik pada anak-anak? Dan sebagainya.
  • Ketakutan berada di sekitar anak-anak akibat kontaminasi emosional.
  • Ketakutan bahwa pikiran seksual tentang seorang anak muncul saat berhubungan seksual.

Sementara itu, kompulsi ialah tindakan fisik maupun mental yang dirasakan seseorang sebagai respons terhadap obsesi. Manifestasi kompulsi dalam kasus POCD mencakup:

  • Menghindari interaksi dengan anak-anak, termasuk tidak melihat atau menggendong.
  • Menghindari media yang mengandung unsur anak-anak.
  • Menghindari keintiman seksual karena takut pikiran atau gambaran mengenai pedofilia akan muncul.
  • Menatap anak-anak untuk memastikan bahwa mereka tidak membangkitkan rangsangan.
  • Menganalisis, mencoba memecahkan masalah, dan mencari kepastian tentang obsesi yang dirasakan.
  • Terlalu banyak mencari informasi untuk memastikan diri sendiri bukan termasuk pedofil.
  • Mencuci tangan setelah menyentuh anak-anak atau benda yang disentuh seorang anak agar tidak “terkontaminasi”.

Baca Juga: Bahaya Self-Deprecation, Kebiasaan Merendahkan Diri Sendiri

2. Penyebab

ilustrasi laki-laki duduk sendirian (pixabay.com/pexels)

Penyebab pasti POCD belum diketahui secara gamblang dan komprehensif. Namun, para ahli telah mengaitkan beberapa faktor yang saling berkaitan meningkatkan risiko POCD. Faktor tersebut berhubungan dengan:

  • Struktur otak.
  • Genetika.
  • Pengaruh lingkungan.
  • Perangai bawaan.

Situasi tertentu dalam kehidupan seperti kehamilan, trauma, dan kondisi kesehatan mental lain juga dapat berkontribusi pada kemunculan OCD. Namun, orang dengan kelainan tersebut memiliki kecenderungan biologis untuk mengembangkannya.

3. Diagnosis

ilustrasi laki-laki sedang fokus pada pekerjaan (pixabay.com/StartupStockPhotos)

POCD merupakan istilah populer yang tidak termasuk dalam diagnosis resmi yang berdiri sendiri. Diagnosis resminya tetap merujuk pada OCD. Istilah POCD digunakan guna membantu memberi label pada apa yang dialami pasien.

Orang dengan POCD rentan terhadap perasaan malu dan takut akan stigma tambahan yang dilontarkan orang lain. Ini mengapa banyak penderitanya memilih untuk merahasiakan kondisinya. Padahal, POCD perlu ditangani agar tidak menimbulkan masalah yang lebih kompleks dan memberatkan penderitanya.

Untuk menggalakkan diagnosis, dokter mungkin akan melakukan evaluasi mendalam. Evaluasi salah satunya diawali dengan mengajukan beberapa pertanyaan seputar OCD.

4. Perawatan

ilustrasi sesi konsultasi dengan psikolog (pixabay.com/RazorMax)

Setelah diagnosis ditegakkan, tahap selanjutnya adalah merencanakan perawatan. Perawatan yang mungkin direkomendasikan oleh untuk POCD adalah kombinasi berbagai terapi, seperti:

  • Terapi pencegahan respons paparan (ERP), melibatkan bantuan untuk menghadapi hal-hal yang ditakuti pasien dan kemudian mengatasi rasa malu terkait kondisinya.
  • Acceptance and commitment therapy (ACT), menggunakan unsur penerimaan, komitmen, dan perubahan perilaku untuk menghasilkan respons psikologis yang lebih fleksibel. Terapi ini juga bertujuan untuk menghalau emosi dan pikiran negatif.
  • Imaginal exposure (IE).

Program perawatan bagi pasien POCD tetap menyesuaikan kebutuhan dan gejala masing-masing individu. Inilah kenapa perawatan bisa berbeda-beda antar pasien.

Baca Juga: Mengapa Orang Punya Kecenderungan Melakukan Prokrastinasi?

Verified Writer

Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya