TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Post Abortion Stress Syndrome, Gejala Mirip PTSD Pasca Aborsi

Dampak psikologis praktik aborsi yang masih diperdebatkan

ilustrasi post abortion stress syndrome (pexels.com/cottonbro)

Keputusan melakukan aborsi merupakan tindakan yang melibatkan emosi secara penuh dan kuat. Respons setiap orang yang menghadapinya pun berbeda-berbeda. Dalam kasus tertentu, orang-orang yang mengalami aborsi bisa mengalami fase stres yang dikenal sebagai post abortion stress syndrome (PASS).

PASS adalah kondisi yang diyakini sebagai sambungan dari gangguan stres pascatrauma (PTSD). Kondisi ini termanifestasi sebagai kumpulan gejala yang punya kemiripan dengan PTSD yang terjadi setelah seseorang melakukan aborsi. Kendati demikian, PASS belum diakui sebagai diagnosis resmi.

1. Gejala

ilustrasi perempuan sedang sedih (pexels.com/Engin Akyurt)

Dilansir Psychology Today, terdapat beberapa gejala PASS yang meliputi:

  • Rasa bersalah: Beberapa alasan medis, misalnya kehamilan yang membahayakan ibu atau janin dapat menjadi alasan aborsi perlu dilakukan. Namun, perasaan akan aborsi mungkin rumit dan harus diperhitungkan. Ini sering kali melibatkan rasa takut dan bersalah akan pemikiran orang lain.
  • Kecemasan: Dalam kasus PASS, individu yang terlibat mungkin mengembangkan kecemasan khusus atas persoalan kesuburan dan/atau kemampuan untuk hamil lagi.
  • Terbayang-bayang oleh kilas balik: Dalam proses keberlangsungan aborsi, pasien biasanya menyadari akan hal tersebut. Peristiwa pilu itu bisa menjadi pengalaman yang membekas dalam ingatan.
  • Pikiran untuk bunuh diri: Dalam kasus ekstrem, stres akibat aborsi dapat menyebabkan kecenderungan melakukan upaya bunuh diri. Penting untuk digarisbawahi bahwa pikiran atau tindakan bunuh diri bukan gejala PASS yang umum terjadi.
  • Perasaan mati rasa atau depresi.

Baca Juga: Seperti Apa Rasanya Aborsi? Begini Gambarannya secara Medis

2. Dampak aborsi terhadap kesehatan mental 

ilustrasi perempuan meratapi perasaan bersalah (pexels.com/Austin Guevara)

Tindakan aborsi melibatkan aspek emosional yang tidak hanya dirasakan oleh pihak perempuan. Pasangan pun juga merasakan dampaknya. Meskipun begitu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa aborsi tidak memengaruhi masalah kesehatan mental jangka panjang. Namun, tetap ada kaitannya yang telah ditemukan oleh penelitian:

  • Penelitian dalam jurnal BMJ Open tahun 2016 mengamati secara khusus risiko pengembangan PTSD setelah tindakan aborsi. Para peneliti menyimpulkan bahwa risiko mengembangkan PTSD serupa di antara orang-orang yang melakukan aborsi maupun yang tidak.
  • Penelitian dalam jurnal Quality of Life Research tahun 2014 justru tidak menemukan bukti bahwa aborsi berdampak negatif terhadap harga diri atau penurunan angka kepuasan hidup.
  • Penelitian lain dalam jurnal Social Science & Medicine tahun 2020 tidak menemukan bukti bahwa seseorang mengalami emosi negatif terkait aborsi. Hal ini berlangsung secara konsisten selama periode lima tahun setelah aborsi dilakukan.

3. Faktor risiko

ilustrasi perempuan merasa putus asa (pexels.com/Maycon Marmo)

Terdapat berbagai faktor tertentu yang menyebabkan seseorang mengalami stres dan gangguan mental terkait aborsi. Namun, hal ini tidak selalu dikaitkan dengan aborsi itu sendiri. Bisa saja individu terkait tidak mendapatkan perawatan aborsi dengan tepat sesuai kebutuhan.

Sementara itu, faktor risiko terkait dengan peningkatan stres setelah aborsi dapat melibatkan:

  • Riwayat kesehatan mental.
  • Riwayat pelecehan seksual yang pernah dialami pada masa lalu.
  • Riwayat pengabaian oleh orang tua atau pengasuh.
  • Riwayat kekerasan oleh pasangan.

4. Kondisi ini seharusnya tidak diabaikan 

ilustrasi perempuan berkacamata sendirian (pexels.com/Garon Piceli)

Perasaan sedih atau merasa bersalah merupakan reaksi normal yang dapat dirasakan setiap orang. Namun, mengabaikan perasaan negatif bukanlah solusi.

Rasa sakit emosional setelah aborsi bisa tumbuh dan berkembang apabila tidak ditangani. Dalam kebanyakan kasus, hal ini bisa menekan perasaan berubah menjadi trauma yang berimbas pada kualitas hidup.

Dampak aborsi yang melibatkan kesehatan mental perlu segera ditangani. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah tekad untuk berdamai dengan keadaan. Selanjutnya, libatkan orang-orang terdekat sebagai support system. Bila perlu, konsultasi dengan profesional kesehatan mental.

Baca Juga: 5 Faktor Penyebab Keguguran atau Abortus pada Ibu Hamil

Verified Writer

Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya