TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Penyebab Gangguan Mental yang Dialami Millenials dan Gen Z

Tetep waras walaupun banyak tuntutan hidup

ilustrasi seseorang mengalami depresi (unsplash.com/@cferdo)

Gangguan mental kerap dikaitkan dengan masalah depresi tingkat lanjut, nah menurut ilmu kedokteran depresi memiliki beberapa penyebab yang tidak banyak diketahui masyarakat. Seperti faktor genetik, mulai dari gangguan sel saraf otak, gangguan hormone, turunan orangtua, dan efek penyakit dalam tubuh.

Faktor non-genetik (psikososial) seperti  kehilangan obyek yang dicintai, hilangnya harga diri, distorsi kognitif serta ketidakberdayaan yang dipelajari (pola asuh keluarga yang depresif) merupakan faktor eksternal depresi. Selain faktor-faktor tersebut, pembahasan faktor internal dan faktor psikososial lain ada di bawah ini.

1. Ketidakseimbangan hormonal yang rata-rata dialami oleh kaum hawa

ilustrasi wanita depressi ( unsplash.com/@yrss)

Faktor depresi yang pertama dipengaruhi jenis kelamin ,angka depresi pada wanita lebih tinggi dibanding pria, kondisi ini sering muncul ketika seorang wanita mengalami depresi prahaid, pasca melahirkan dan postmenopause. Sebelum menstruasi, 90% wanita mengalami PMS (premenstrual syndrome) yang terjadi akibat perubahan kadar hormon seks dan serotonin pada awal siklus menstruasi. Tingkat estrogen dan progesteron dalam tubuh wanita akan meningkat selama waktu-waktu tertentu dalam sebulan. Nah, peningkatan hormon inilah yang dapat menyebabkan perubahan suasana hati, rasa cemas, dan lekas marah.

30 persen wanita mengalami mood swing yang ekstrem. Hal ini terjadi akibat rendahnya estrogen dan serotonin, sehingga bisa memicu depresi pada sebagian wanita sebelum ia mengalami menstruasi. Pada sindrom prahaid yang parah, tentunya dapat mengganggu kegiatan sehari-hari seperti pergi bekerja atau sekolah. 

2. Generasi millennial dan gen Z yang berada di usia produktif lebih rentan mengalami depresi

ilustrasi anak muda produkif (unsplash.com/@nixcreative)

Depresi yang dialami millennial rata-rata disebabkan tekanan dalam bidang akademik, perundungan, faktor keluarga, dan permasalahan ekonomi. Yang mana keadaan tersebut dirasa sangat menekan sehingga seseorang  tidak dapat beradaptasi dan bertahan.

Peristiwa-peristiwa kehidupan seperti pertengkaran yang kerap terjadi di tempat kerja atau di rumah tangga, kesulitan keuangan, dan ancaman terhadap keamanan (tinggal di daerah yang berbahaya atau konflik) dapat pula mencetuskan depresi. Baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan kerja, faktor di atas memang kerap terjadi. Fatalnya orang yang mengalami depresi banyak yang melakukan percobaan bunuh diri dan mengakhiri hidupnya karena masalah kesehatan mental ini.

Seperti kasus bullying di lingkungan sekolah yang terjadi belakangan ini, pasti akan menimbulkan trauma untuk korban dan teman sekelas lainnya. Hal ini pasti akan mengganggu proses belajar mengajar karena anak mengalami depresi, rasa cemas dan takut untuk berinteraksi dengan teman-teman lainnya. Disisi lain banyak kasus mahasiswa melakukan bunuh diri karena tekanan mental, seperti yang terjadi pada mahasiswa UGM yang bunuh diri beberapa waktu lalu.

Baca Juga: 5 Hal yang Tampak Sepele Ini Jadi Faktor Pemicu Depresi

3. Masalah percintaan baik masih pacaran, menikah, ataupun individu yang sudah bercerai menjadi faktor depresi selanjutnya 

istockphoto.com

Dalam beberapa kasus, perselingkuhan menjadi faktor depresi bagi beberapa orang korban perselingkuhan pasangannya. Selain merasa sakit hati, trauma, dan kecewa pasti banyak hal yang mengganggu pikiran seorang korban perselingkuhan. Terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga dan bahkan memiliki anak.

Bercerai merupakan keputusan berat bagi mereka yang sudah memiliki anak dan tentunya memicu depresi untuk sebagian orang. Tak sedikit pula orangtua depresi yang membawa anaknya melakukan tindak bunuh diri karena merasa keluarganya sudah hancur. Hal mengkhawatirkan inilah yang banyak terjadi di Indonesia.

Seperti kasus remaja bunuh diri yang terjadi di daerah Cikarang, diduga kematian remaja tersebut karena orangtuanya telah bercerai dan dia hidup bersama neneknya. Di lihat dari kasus tersebut anak pasti mengalami depresi karena masalah orangtuanya. 

4. Kehidupan modern di perkotaan yang serba cepat, menuntut setiap orang untuk bisa mengikuti arusnya   

ilustrasi perkotaan yang sibuk (unsplash.com/@xoxxai)

Kaum Urban yang hidup di kota besar memiliki risiko tinggi terkena depresi. Kenapa? Lingkungan kota besar memberikan tekanan hidup lebih tinggi dibandingkan lingkungan pedesaan atau kota kecil. Kehidupan perkotaan yang sibuk membuat banyak orang harus meninggalkan rumah pagi-pagi sekali dan pulang larut malam.

Belum lagi dengan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan membuat waktu terasa singkat dan harus ekstra sabar ketika menghadapi kemacetan di kota besar. Persaingan dan gaya hidup yang cukup tinggi membuat semua orang di perkotaan berlomba-lomba memenuhi kebutuhan hidup dengan mengikuti tren yang ada. Semua hal itu tentunya berkaitan erat dengan ekonomi keluarga maupun personal yang dimiliki, cara mendapatkan finansial tersebut membuat semua orang merasa tertekan dan kurang puas dengan hasil yang didapatkan.

Seperti kasus yang menimpa seorang wanita 24 tahun yang bunuh diri dengan melompat dari parkiran lantai 3 Tunjungan Plaza. Hasil penelusuran polisi, warga Surabaya itu nekat mengakhiri hidupnya karena stres diteror pinjol. 

5. Faktor keturunan bisa jadi salah satu faktor depresi yang diturunkan pada anggota keluarga lainnya 

ilustrasi anak murung (unsplash.com/@carolinehdz)

Latar belakang keluarga yang memiliki riwayat hidup depresif, bunuh diri dan pecandu alkohol bisa menjadi faktor depresi yang tak terdeteksi. Para ahli menyebutkan bahwa sekitar 40 persen penderita depresi juga memiliki keluarga yang depresi, sementara 60 persennya mengalami depresi karena faktor lingkungan dan faktor lainnya.

Ini berarti bahwa faktor genetik juga ikut andil dalam hal seseorang mengalami depresi. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa anak berisiko 3 kali lipat lebih tinggi mengalami depresi dibanding orangtuanya yang mengalami depresi. Terlebih lagi jika mereka tidak mau terbuka dan sulit untuk didekati, hal ini akan memicu stres untuk anggota keluarga lain yang merawatnya.

Baca Juga: 14 Obat-obatan Ini Bisa Picu Depresi, Bijaklah Menggunakannya

Verified Writer

Marlina syaikhu

Make It, Do It and Enjoy what you Think. Just to be creative

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya