TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

7 Alasan Obesitas Bisa Tingkatkan Risiko Depresi

Obesitas menyebabkan banyak perubahan pada tubuh

ilustrasi obesitas dan depresi (pexels.com/Andres Ayrton)

Obesitas dan stres telah menjadi masalah global. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2022, sebanyak 1 miliar orang di dunia mengalami obesitas dan diprediksi akan terus bertambah. Sementara itu, jumlah orang dengan depresi diperkirakan sebanyak 280 juta orang.

Baik depresi maupun obesitas bisa menjadi masalah serius jika tidak segera ditangani dengan tepat. Ternyata, obesitas bisa memperbesar risiko depresi. Apa alasan obesitas bisa meningkatkan risiko depresi?

1. Tingginya kadar trigliserida

ilustrasi obesitas (pexels.com/Anna Tarazevich)

Tingginya trigliserida adalah salah satu faktor yang dapat membuat orang yang obesitas berisiko tinggi mengalami depresi. Trigliserida adalah jenis lemak dalam darah yang kadarnya bisa menjadi terlalu tinggi pada orang dengan obesitas.

Menurut penelitian dalam jurnal Diabetes Care tahun 2009, ketika tingkat trigliserida naik, hal ini bisa menandakan bahwa tubuh tidak bisa mengatur lemak dengan baik. Saat ini terjadi, risiko mengalami depresi juga bisa menjadi lebih tinggi.

Sebenarnya, tubuh kita membutuhkan lemak untuk berfungsi dengan baik. Namun, ketika trigliserida terlalu tinggi, ini bisa menyebabkan banyak perubahan kinerja tubuh.

Trigliserida yang tinggi bisa menyebabkan perubahan pada sistem saraf dan biokimia dalam tubuh. Perubahan ini bisa membuat suasana hati kita menjadi tidak stabil dan berkontribusi pada munculnya perasaan sedih atau depresi.

Baca Juga: 13 Bahaya Obesitas, Salah Satunya Bisa Tingkatkan Risiko Kanker

2. Tingginya hormon kortisol

ilustrasi depresi (pexels.com/Julia Larson)

Hormon kortisol adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal dan berperan dalam merespons stres. Penelitian dalam jurnal Archives of General Psychiatry tahun 2010 menemukan bahwa pada orang dengan obesitas, kadar hormon kortisol dalam tubuh mereka bisa lebih tinggi dari biasanya, bahkan dalam situasi yang tidak terlalu stres.

Tingginya hormon kortisol juga dapat berkontribusi pada peningkatan nafsu makan. Ketika seseorang mengalami stres dan kadar hormon kortisol meningkat, mereka mungkin merasa ingin makan lebih banyak, terutama makanan yang mengandung lemak dan gula.

Ini bisa menjadi masalah bagi orang dengan obesitas, karena makan lebih banyak akan menyebabkan peningkatan berat badan dan memperburuk kondisi obesitas. Selain itu, obesitas itu sendiri juga dapat menyebabkan stres dan memicu pelepasan hormon kortisol yang lebih tinggi.

3. Perubahan hormon leptin dalam tubuh

ilustrasi obesitas (pexels.com/Andres Ayrton)

Hormon leptin diproduksi oleh sel lemak dalam tubuh kita dan berperan dalam mengatur nafsu makan dan mengontrol berat badan. Perubahan hormon leptin dapat menjadi faktor yang menyebabkan orang dengan obesitas berisiko tinggi mengalami depresi.

Hormon leptin ini seolah menjadi pesan yang dikirim oleh tubuh kepada otak untuk memberi tahu kita bahwa kita sudah kenyang dan tidak perlu makan lagi. Namun, pada orang dengan obesitas, terjadi perubahan pada hormon leptin ini.

Perubahan hormon leptin dapat menyebabkan pesan "sudah kenyang" tidak terkirim dengan baik ke otak. Akibatnya, seseorang mungkin tetap merasa lapar meskipun sudah makan dalam jumlah yang cukup. Mereka mungkin merasa sulit untuk merasakan kenyang atau puas setelah makan.

Ketika seseorang tidak merasakan kenyang setelah makan, mereka cenderung makan lebih banyak dan terus menambah asupan kalori. Ini dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan obesitas. Selain itu, hormon leptin juga berfungsi untuk mengurangi gejala depresi dan kecemasan melalui sistem hypothalamic-pituitary-adrenal axis (HPA).

Penelitian dalam jurnal Cognitive, Affective, & Behavioral Neuroscience tahun 2018 menemukan bahwa orang dengan hormon leptin yang rendah akan mengalami perubahan suasana hati, seperti merasa sedih, lelah, atau kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya mereka nikmati. Ini dapat meningkatkan risiko mereka mengalami depresi dan kecemasan.

4. Disregulasi sistem HPA

ilustrasi depresi (unsplash.com/Nick Fewings)

HPA merupakan sistem dalam tubuh yang mengatur tanggapan terhadap stres.

Dalam kondisi normal saat mengalami stres, hipotalamus akan mengirimkan sinyal ke kelenjar pituitari untuk memproduksi hormon kortisol. Kortisol adalah hormon stres yang membantu tubuh menghadapi situasi sulit dan menangani stres.

Penelitian dalam jurnal Cognitive, Affective, & Behavioral Neuroscience tahun 2018 menemukan bahwa pada orang dengan obesitas, sistem ini tidak dapat bekerja dengan baik atau mengalami disregulasi.

Sinyal yang dikirim oleh hipotalamus ke kelenjar pituitari dan produksi kortisol mungkin tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, terjadi peningkatan produksi kortisol atau penurunan respons terhadap kortisol. Gangguan pada sumsum tulang belakang adrenal ini dapat memengaruhi keseimbangan hormon stres dan berdampak pada kesejahteraan mental.

Pada akhirnya, disregulasi HPA ini akan mengakibatkan orang dengan obesitas mengalami kesulitan untuk mengatasi stres, yang selanjutnya akan menyebabkan depresi berkepanjangan.

5. Resistansi terhadap efek hormon grelin

ilustrasi obesitas (pexels.com/Towfiqu barbhuiya)

Hormon grelin adalah hormon yang diproduksi di usus, otak, serta pankreas. Hormon ini bertanggung jawab mengatur rasa lapar.

Studi menemukan bahwa pada orang dengan obesitas, resistansi terhadap efek hormon grelin dapat terjadi. Meskipun tubuh mereka memproduksi hormon grelin, tetapi otak mereka mungkin tidak menerima sinyal dengan benar bahwa mereka sudah kenyang. Akibatnya, mereka cenderung makan lebih banyak dan tidak merasa kenyang dengan cepat seperti orang lain. Ketika seseorang merasa tidak puas dengan makanan dan sering makan lebih banyak dari yang seharusnya, peningkatan berat badan dan obesitas dapat terjadi.

Hormon grelin juga berfungsi untuk mengurangi ketakutan, kecemasan, dan depresi. Namun, sayangnya resistansi hormon grelin pada orang obesitas turut berkontribusi dalam mencetuskan depresi.

Orang dengan resistansi terhadap hormon grelin mungkin mengalami perubahan suasana hati. Ini bisa termasuk perasaan sedih, lelah, atau kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya dinikmati.

6. Gangguan fungsi hormon tiroid

ilustrasi depresi (pexels.com/Eleanor Jane)

Hormon tiroid adalah zat yang diproduksi oleh kelenjar tiroid di leher. Fungsinya sangat penting karena mengatur banyak hal dalam tubuh, termasuk berat badan dan suasana hati. Ketika hormon tiroid tidak berfungsi dengan baik, seperti terlalu sedikit atau terlalu banyak, itu dapat memengaruhi tubuh kita secara negatif.

Studi dalam jurnal Cognitive, Affective, & Behavioral Neuroscience menemukan bahwa orang yang mengalami obesitas cenderung memiliki kadar hormon tiroid yang rendah. Ini dapat membuat seseorang merasa lelah, lesu, dan cenderung memiliki suasana hati yang buruk.

Selain itu, hormon tiroid juga berperan dalam mengatur produksi serotonin, yaitu hormon dalam otak yang berperan dalam mengatur suasana hati. Ketika hormon tiroid tidak berfungsi dengan baik, produksi serotonin juga dapat terganggu. Ini dapat menyebabkan perubahan suasana hati, termasuk gejala depresi seperti perasaan sedih, kehilangan minat, atau kecemasan berlebihan.

Baca Juga: Atasi Obesitas dengan Operasi Bariatrik, Ini Manfaatnya

Verified Writer

Masrurotul Hikmah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya