TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Inkontinensia Urine atau Mengompol, Bisa Dialami Semua Usia

Namun, inkontinensia urine lebih sering dialami oleh lansia

ilustrasi inkontinensia urine (midwesturologicalgroup.com)

Mengompol umumnya diasosiasikan dengan anak-anak karena pengendalian kandung kemihnya belumnya terlalu baik. Namun, kondisi ini sebenarnya bisa terjadi pada semua usia dan jenis kelamin, tak terkecuali remaja, orang dewasa, hingga lansia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perkumpulan Kontinensia Indonesia (PERKINA) tahun 2020 yang melibatkan 585 orang (terdiri dari 318 perempuan dan 267 laki-laki), diketahui 11,6 persen (68 orang) mengalami gangguan berkemih. Artinya, sekitar 1 dari 10 orang mempunyai gangguan tersebut.

Tahukah kamu, mengompol erat kaitannya dengan inkontinensia urine, yaitu ketidakmampuan dalam menahan atau mengendalikan keluarnya air kencing atau urine. Kondisi ini tidak boleh disepelekan karena berdampak pada fisik dan psikologis, seperti menurunkan kualitas hidup, menyebabkan gangguan seksual, hingga depresi!

Atas dasar itu, PERKINA mengadakan virtual media education dengan topik "Beser dan Ngompol pada Kelompok Lansia dan Laki-laki, Normalkah?" pada Kamis (19/8/2021). Acara ini menghadirkan Prof. dr. Harrina Erlianti Rahardjo, SpU(K), PhD, Ketua Perkumpulan Kontinensia Indonesia; Prof. Dr. dr. Siti Setiati, Sp.PD, KGer, M.Epid, Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; dan Dr. dr. Nur Rasyid, SpU(K), Departemen Medik Urologi FKUI-RSCM. Simak, yuk!

1. Apa itu inkontinensia urine?

Kandung kemih normal dan inkontinensia. (brisbaneurologyclinic.com.au)

First of all, Prof. Siti menjelaskan definisi inkontinensia. Ini adalah kondisi ketika seseorang tidak bisa menahan atau mengendalikan keluarnya air kencing.

Sementara itu, menurut Dr. Rasyid, ada empat jenis inkontinensia urine (IU) yang paling sering dijumpai:

  • IU tekanan (stress urinary incontinence) yang berhubungan dengan peningkatan tekanan di rongga perut
  • IU desakan (urgency urinary incontinence) yang ditandai dengan keluarnya urinr yang diawali dengan desakan berkemih
  • IU campuran (mixed urinary incontinence) yang merupakan campuran antara tekanan dan desakan
  • IU luapan (overflow urinary incontinence) yang terjadi karena volume kandung kemih yang sudah penuh, tetapi seseorang tidak bisa berkemih sehingga urine menetes secara spontan

Berapa prevalensi setiap jenis IU di Indonesia? Untuk IU tekanan kira-kira sebanyak 4 persen pada populasi umum (lansia 4,8 persen), IU desakan atau urgensi sebanyak 4,1 persen pada populasi umum (lansia 9,4 persen), IU campuran sebesar 1,5 persen pada populasi umum (lansia 4,0 persen), dan IU luapan sebanyak 0,4 persen pada populasi umum (lansia 0,4 persen).

Jenis inkontinensia yang paling banyak ditemui di Indonesia adalah IU tekanan, sedangkan IU desakan atau urgensi paling banyak dijumpai pada populasi lansia. Sementara itu, IU luapan banyak dijumpai pada laki-laki karena berkaitan dengan obstruksi saluran kemih yang akibat pembesaran prostat atau batu.

2. Seperti apa gejala inkontinensia urine?

ilustrasi tidak bisa menahan kencing (prima.co.uk/Peter Cade)

Inkontinensia urine memiliki gejala yang khas. Menurut Prof. Siti, gejalanya antara lain:

  • Tidak bisa menahan dan terburu-buru ingin berkemih
  • Segera setelah keinginan berkemih muncul, urine tiba-tiba keluar dan tidak bisa dikendalikan
  • Frekuensi berkemih meningkat, hingga 8 kali atau lebih dalam kurun waktu 24 jam
  • Sering terbangun di malam hari untuk berkemih (nokturia), hingga lebih dari 2 kali
  • Incomplete emptying atau sensasi kandung kemih seperti masih terisi setelah berkemih
  • Intermittency atau aliran urine yang terputus-putus
  • Terminal dribbling atau urine yang menetes di akhir pancaran berkemih
  • Straining atau mengejan saat berkemih
  • Hesitancy atau menunggu keluarnya urine saat berkemih

Baca Juga: Kenali Penyakit Urine Sirup Maple, Mengubah Kencing Jadi Berbau Manis!

3. Apa saja faktor risikonya?

Diabetes adalah salah satu faktor risiko inkontinensia urine. (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Ada beberapa kondisi medis yang menjadi faktor risiko inkontinensia urine. Contohnya seperti:

  • Diabetes melitus atau kencing manis, yang mana kontrol glukosa darah yang tidak teratur bisa meningkatkan poliuria (buang air kecil lebih sering dibanding hari biasanya) dan IU
  • Penyakit sendi degeneratif, yaitu ketika keterbatasan pergerakan bisa menyebabkan IU fungsional dan memperparah IU desakan
  • Penyakit pernapasan kronis seperti batuk yang bisa memperburuk IU tekanan
  • Sleep apnea yang bisa meningkatkan produksi urine pada malam hari
  • Penyakit jantung kongestif yang meningkatkan produksi urine lalu memperparah IU dan nokturia
  • Konstipasi dan impaksi feses yang meningkatkan risiko IU campuran
  • Penyakit Parkinson dan stroke bisa memperburuk IU desakan dan retensi urine

Penyebab inkontinensia urine bermacam-macam, seperti penurunan kekuatan otot dasar panggul, penurunan daya tampung kandung kemih, penurunan kekuatan otot sfingter saluran kemih, serta peningkatan aktivitas otot (detrusor) kandung kemih (terdiri atas hiperrefleks dan instabilitas).

4. Apa dampak inkontinensia urine bagi pengidapnya?

Inkontinensia urine bisa membuat pengidapnya malu dan depresi. (pexels.com/Kat Jayne)

Dampak inkontinensia urine sangat besar bagi kehidupan pengidapnya. Sering kali, tidurnya jadi kurang nyenyak, kurang tidur, dan lunglai karena harus bangun berkali-kali untuk kencing supaya tidak mengompol. Selain itu, timbul ruam, lecet, dan luka di sekitar selangkangan karena air kencing yang membasahi membuat area tersebut lembap dan kotor.

Menyiasatinya dengan memakai popok akan terasa tidak nyaman, tidak leluasa, dan mengganjal. Ada pula yang sampai terpeleset tetesan air kencingnya sendiri dan berujung patah tulang, sehingga harus operasi, Prof. Siti.

Efek psikologisnya pun tak kalah dahsyat. Pengidapnya terus-menerus dilanda ketakutan dan kekhawatiran akan mengompol jika harus menginap di luar. Tak sedikit yang mengalami stres, malu, bingung, takut dihakimi atau dijauhi, dan bahkan depresi akibat kondisinya. Intinya, inkontinensia urine menurunkan kualitas hidup penderitanya.

Baca Juga: Sering Kencing di Malam Hari? Mungkin Itu Pertanda Nokturia

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya