TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menjaga Jarak Fisik 2 Meter Masih Bisa Tertular COVID-19?

Jarak yang dibutuhkan ternyata lebih jauh

menshealthfoundation.ca

Kita sudah sering dengar anjuran fisik minimal 6 kaki atau setara dengan 2 meter dari orang lain (kalau Indonesia sendiri menganut "mahzab" 1 meter). Jarak fisik ini diberlakukan untuk mengurangi risiko tertular COVID-19 dan menghindari percikan droplet dari orang lain. Apakah cara ini efektif?

Ternyata, menurut Lydia Bourouiba, PhD, direktur Fluid Dynamics of Disease Transmission Laboratory di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat (AS), menjaga jarak 2 meter tidak cukup menurunkan risiko penularan! Mengapa demikian?

1. Aturan "6 kaki" dicetuskan oleh Carl Flügge, ilmuwan asal Jerman

houstonmethodist.org

Aturan jaga jarak 6 kaki (2 meter) memang baru populer akhir-akhir ini. Akan tetapi, aturan ini dicetuskan di akhir tahun 1800-an oleh Carl Flügge, seorang ilmuwan asal Jerman. Dia menemukan bahwa patogen hadir dalam tetesan besar (droplet) yang dikeluarkan dari hidung dan mulut.

Dilansir Healthline, sebagian besar droplet ini jatuh ke tanah dalam jarak 3-6 kaki (1-2 meter) dari orang yang terinfeksi. Studi ini diperkuat dengan kemajuan fotografi yang menangkap gambar droplet yang disemburkan saat seseorang bersin, batuk, atau berbicara.

2. Ada banyak faktor yang memengaruhi seberapa jauh droplet menyebar

oggiscuola.com

Menurut Jesse Capecelatro, PhD, asisten profesor teknik mesin di Universitas Michigan, AS, ada banyak faktor yang memengaruhi seberapa jauh droplet menyebar. Apabila kelembapan udara rendah, maka droplet yang lebih besar bisa menyusut dan bertahan di udara lebih lama.

Tetesan akan semakin jauh apabila dibawa oleh angin di luar atau disebarkan oleh sistem ventilasi dalam ruangan. Jadi, bisa dibilang menjaga jarak sejauh 2 meter masih belum aman.

Bahkan, dalam penelitian lain, ditemukan bahwa tetesan ekspirasi bisa melakukan perjalanan lebih dari 6 kaki. Ada pula droplet yang terbawa hingga jarak 13-26 kaki (3,9-7,9 meter)!

Dalam studi berjudul "High SARS-CoV-2 Attack Rate Following Exposure at a Choir Practice" yang diterbitkan di "Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR)" yang dikeluarkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), menunjukkan bahwa satu orang anggota paduan suara yang memiliki gejala COVID-19 bisa menularkan virus ke 32 penyanyi lainnya.

Diperkirakan, kekuatan mengembuskan napas saat bernyanyi bisa menyebarkan virus, tetapi bisa juga dari faktor lain seperti berbagi makanan.

Baca Juga: Tantangan yang Dihadapi Indonesia untuk Mengakhiri Pandemi COVID-19

3. Risiko tertular virus lebih tinggi di dalam ruangan daripada di luar ruangan

jordantimes.com

Jesse menyebut bahwa droplet yang dikeluarkan saat batuk, bersin, atau berbicara bisa bertahan lama di dalam ruangan. Apalagi, droplet bisa terhirup jika ruangan itu memiliki ventilasi yang buruk. Bahkan, dalam makalah pracetak yang disusun oleh peneliti asal Jepang, ditemukan bahwa risiko penularan di dalam ruangan 18,7 kali lebih tinggi dari luar ruangan!

Jika pola aliran udara buruk, partikel virus akan mengelompok dan meningkatkan jumlah partikel yang terhirup. Kesimpulannya, ruang berventilasi buruk lebih berisiko, ungkap Jesse seperti tertulis di laman Healthline.

Contoh kasus di Tiongkok, 10 orang dari 3 keluarga mengunjungi sebuah restoran dan akhirnya tertular virus corona strain baru, SARS-CoV-2, penyebab COVID-19, dalam kurun waktu 1 jam. Padahal, tak satu pun dari mereka yang melakukan kontak fisik langsung dengan orang yang terinfeksi virus.

4. Ventilasi yang baik bisa menghilangkan partikel virus dari udara

seattletimes.com

Berdasarkan studi pracetak dari peneliti di University of Minnesota College of Science and Engineering, AS,  ventilasi yang baik bisa menghilangkan partikel virus dari udara. Namun, partikel virus ini justru berakhir di permukaan ruangan. Tim peneliti mengambil sampel dari lift, ruang kelas kecil, dan supermarket.

Menurut Jiarong Hong, PhD, penulis studi sekaligus profesor teknik mesin dari University of Minnesota, jika permukaan tidak rutin dibersihkan, kita bisa terkena partikel virus saat menyentuh permukaan tersebut. Dalam beberapa kasus, ventilasi yang buruk bisa menyebabkan hotspot (titik panas), yakni lokasi tempat partikel virus berkumpul.

Untuk mengatasinya, disarankan untuk menempatkan sumber ventilasi di dekat pemancar virus utama, misal tempat guru berdiri di ruang kelas. Ini berguna untuk menangkap partikel sebanyak mungkin. Saran lainnya adalah membuka jendela agar sirkulasi udara berjalan lancar, jelas Jiarong Hong yang dikutip di laman Healthline.

 

Baca Juga: Whole Genome Sequencing, Kunci Penanganan Pandemik COVID-19

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya