TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Diagnosis Demensia Frontotemporal, Kondisi yang Diidap Bruce Willis

Apa yang membuat demensia frontotemporal berbeda?

ilustrasi demensia (pexels.com/Thomas Ronveaux)

Aktor Bruce Willis (67) dikabarkan didiagnosis dengan demensia frontotemporal, yaitu jenis demensia yang dapat menyebabkan masalah pada perilaku atau keterampilan bahasa.

Bruce pertama kali didiagnosis dengan afasia, yaitu kelainan yang ditandai dengan masalah pemrosesan bahasa, pada tahun 2022. Sejak itu, kondisinya berkembang dan dokter telah memiliki pemahaman pemahaman yang lebih jelas tentang penyebab gejalanya.

Demensia frontotemporal, kadang disebut sebagai degenerasi frontotemporal, adalah bentuk demensia yang langka dan menurut National Institute of Aging kondisi ini tidak ada obatnya.

Inilah informasi seputar tanda-tanda peringatan demensia frontotemporal, mengapa proses diagnosisnya terkadang sulit, hal-hal lain seputar kondisi ini yang penting untuk diketahui.

Baca Juga: Studi: Alat Bantu Dengar Berpotensi Tekan Risiko Demensia

Apa yang membuat demensia frontotemporal berbeda dengan jenis demensia lainnya?

ilustrasi demensia pada lansia (pexels.com/Kindel Media)

Demensia frontotemporal adalah salah satu dari banyak jenis demensia, tetapi mungkin tidak terlihat sangat mirip dengan apa yang kebanyakan orang pikirkan ketika mendengar istilah "demensia".

Awam menganggap demensia pasti berhubungan dengan masalah ingatan. Akan tetapi demensia frontotemporal berbeda. Dilansir Health, gejalanya sering bermanifestasi sebagai masalah bahasa atau perilaku, berbeda dari bentuk demensia lainnya, seperti penyakit Alzheimer, yang ditandai dengan kehilangan ingatan.

Demensia adalah istilah umum yang mengacu pada gejala yang dialami seseorang, dan berbagai masalah di otak menjelaskan mengapa gejala demensia dapat terlihat. sangat berbeda.

Seperti tersirat dari namanya, demensia frontotemporal ditandai dengan protein salah lipatan (misfolded protein) di lobus frontal dan temporal di otak, yang menjelaskan gejala unik yang ditimbulkannya.

Seseorang cenderung mendapatkan gejala yang terkait dengan area anatomi seperti perubahan perilaku, perubahan kepribadian, atau masalah bahasa, biasanya ucapan dan artikulasi.

Banyak orang mengalami afasia setelah mengalami stroke dan mengalami kesulitan berbicara dan berkomunikasi. Namun, kalau makin parah, biasanya itu tandanya ada penyakit progresif, seperti demensia frontotemporal, yang menjadi akar masalahnya.

Tantangan diagnosis demensia frontotemporal

ilustrasi demensia (unsplash.com/Tessa Rampersad)

Dalam banyak kasus, demensia frontotemporal bisa makan waktu lama untuk didiagnosis. Sebagian besar pasien menerima diagnosis sekitar 2–3 tahun setelah gejala dimulai.

Salah satu alasan kenapa butuh waktu untuk diagnosis demensia frontotemporal adalah karena belum adanya tes diagnostik. Dokter harus menunggu gejala klinis berkembang menjadi sindrom, yang kemudian dapat disesuaikan dengan dugaan dokter.

Sering kali, dokter harus menunggu gejala pasien memburuk sampai jelas bawa pasien punya kelainan progresif seperti demensia frontotemporal. Dan, pada tingkat yang lebih logistik, diagnosis dapat memakan waktu lebih lama hanya karena sering kali ada banyak janji temu dan banyak rujukan sebelum spesialis saraf dapat mendiagnosis kondisi tersebut.

Di luar waktu yang diperlukan untuk mendiagnosisnya, demensia frontotemporal tidak selalu muncul seperti demensia pada umumnya, yang sering menyebabkan kesalahan diagnosis.

Mungkin gejala paling umum yang terkait dengan demensia frontotemporal adalah penarikan diri atau sikap apatis. Akan tetapi, seseorang juga dapat menunjukkan "perilaku tanpa hambatan", yang berarti mereka dapat bertindak di luar karakter, bertindak tanpa empati, atau bertindak secara impulsif.

Pada permukaan, itu tidak akan membuat seseorang berpikir bahwa orang tersebut memiliki demensia. Orang tersebut mungkin akan dianggap mengalami depresi, atau hanya bersikap kasar, atau mungkin gangguan kejiwaan. Ini adalah salah satu alasan kenapa demensia frontotemporal terlewatkan atau salah didiagnosis.

Karena demensia frontotemporal juga muncul jauh lebih awal daripada jenis demensia lainnya, perubahan perilaku ini dapat dianggap sebagai sesuatu yang sederhana seperti "krisis paruh baya".

Hambatan untuk diagnosis cepat juga diperburuk oleh masalah umum yang ada untuk akses perawatan kesehatan di banyak negara.

Orang mungkin tidak berpikir untuk mencari perawatan medis karena demensia frontotemporal tidak begitu "populer", atau mereka mungkin tidak tahu harus ke mana. Dan, mungkin sangat menantang bagi beberapa kelompok terpinggirkan untuk mendapatkan akses ke perawatan spesialis.

Ada begitu banyak hambatan sebelum seseorang benar-benar menemui dokter, dan tidak ada jaminan bahwa dokter perawatan primer dapat mengenali ini. Bahkan bagi pusat medis besar pun sulit untuk mengenali dan melakukan triase dengan tepat.

Puncak dari semua ini, dapat dipahami, adalah bahwa demensia frontotemporal kemungkinan besar tidak dilaporkan, seperti mengutip Health.

Anggota keluarga sering kali menjadi orang pertama yang memperhatikan perubahan halus dalam perilaku atau keterampilan bahasa. Dijelaskan dalam laman Johns Hopkins Medicine, penting untuk menemui dokter sedini mungkin untuk mendiskusikan:

  • Gejala, kapan mulai, dan seberapa sering terjadi.
  • Riwayat medis dan masalah medis sebelumnya.
  • Riwayat kesehatan anggota keluarga.
  • Obat resep, obat bebas, dan suplemen makanan yang diminum.

Tidak ada tes tunggal yang dapat mendiagnosis demensia frontotemporal. Biasanya, dokter akan memesan tes darah rutin dan melakukan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan kondisi lain yang menyebabkan gejala serupa. Jika mencurigai demensia, dokter mungkin akan:

  • Evaluasi kesehatan status neurologis termasuk refleks, kekuatan otot, tonus otot, indra peraba dan penglihatan, koordinasi, dan keseimbangan.
  • Pengujian status neuropsikologis seperti ingatan, kemampuan memecahkan masalah, rentang perhatian dan keterampilan berhitung, dan kemampuan bahasa.
  • Memesan pemindaian MRI atau CT.

Baca Juga: Ngupil Tingkatkan Risiko Demensia? Ini Kata Studi! 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya