Waspada Anemia, Salah Satu Risiko Penyebab Stunting
Memotong rantai anemia harus dimulai dari remaja putri
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Stunting adalah salah satu bentuk kelainan gizi anak yang terlihat dari panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur anak sebayanya. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Sementara itu, anemia merupakan penurunan kadar hemoglobin darah di bawah normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Kekurangan zat besi merupakan penyebab anemia terbanyak pada anak-anak.
Salah satu penyebab terjadinya stunting adalah defisiensi zat besi. Zat besi merupakan salah satu elemen kunci dalam optimalisasi masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), termasuk untuk pencegahan stunting.
Baca Juga: Prevalensi Stunting di Indonesia Tahun 2022 Menurun
Masalah anemia di Indonesia
Menurut dr. Nurul Ratna Mutu Manikam, M.Gizi, SpGK dari Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, masalah anemia di Indonesia belum berakhir.
"Sekarang mungkin pemerintah lebih fokus ke stunting, padahal stunting juga berhubungan dengan anemia, di mana anemia dapat terjadi pada semua siklus kehidupan, mulai dari remaja. Makanya program pemerintah itu memberikan tablet tambah darah pada remaja putri, karena sebenarnya untuk memotong rantai anemia harus dimulai dari remaja putri. Diharapkan kalau remaja putri ini kadar Hb-nya baik, nanti pada saat dia hamil di kemudian hari, meskipun itu terjadi 10 tahun kemudian, karena depositnya cukup maka risiko anemianya kecil," kata dr. Nurul dalam rangkaian kegiatan “Aksi Gizi Generasi Maju” bertajuk “Wujudkan Generasi Maju Bebas Stunting dengan Isi Piringku kaya Protein Hewani” yang digelar oleh Danone Indonesia pada 9–10 Februari 2023 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dokter Nurul juga mengatakan bahwa anemia berkaitan dengan BBLR dan stunting. Jadi, untuk mengoreksinya yang paling betul itu pada masa remaja.
Prevalensi ibu hamil yang mengalami anemia banyak, dan prevalensi anemia yang paling besar adalah pada ibu hamil yang usianya muda, yaitu (15–24 tahun).
"Temuan penelitian juga sejalan di banyak negara lain, seperti Bangladesh, India, dan negara-negara Afrika, bahwa ibu-ibu yang mengalami anemia adalah yang hamil pada usia muda karena pernikahan dini. Banyak yang mengalami anemia, banyak yang melahirkan dengan BBLR, dan otomatis dengan BBLR sebagian besar mengalami anemia dan menjadi stunting. Kemudian karena anak ini sudah mengalami anemia di awal, kemudian pada masa balita juga anemia, dan ini berlanjut terus sampai terjadi stunting," dr. Nurul menjelaskan.
Lewat presentasinya, dr. Nurul memaparkan masalah anemia di Indonesia, yakni:
- Anemia pada balita: Sebanyak 28,1–38,5 persen balita mengalami anemia. Sebanyak 50–60 persen anemia pada balita disebabkan oleh asupan zat besi yang rendah.
- Anemia pada anak usia 5–14 tahun: Sekitar 26 persen anak usia 5–14 tahun mengalami anemia.
- Anemia pada ibu hamil: Anemia ibu hamil 37,1–48,9 persen, khususnya 84,6 persen ibu hamil usia 15-24 tahun mengalami anemia.
- Anemia pada remaja: 18,4–32 persen remaja mengalami anemia, khususnya remaja putri.
Baca Juga: Jangan Remehkan, Ini Penyebab Stunting Jadi Masalah Kesehatan Serius