TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 ISPA dan Penyakit yang Perlu Diwaspadai akibat Polusi Udara

Paparan polusi udara tidak boleh dianggap sepele!

ilustrasi sakit akibat paparan polusi udara tinggi (freepik.com/benzoix)

Polusi udara yang belakangan makin buruk telah memicu kenaikan jumlah kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Selain ISPA, polusi udara juga telah dikaitkan dengan masalah paru-paru dan pernapasan lainnya.

ISPA disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri di saluran pernapasan. Saluran pernapasan yang bisa terserang infeksi bisa saluran pernapasan atas atau bawah. Namun, ISPA paling sering disebabkan oleh infeksi virus dan paling sering terjadi di saluran pernapasan bagian atas.

Beberapa jenis virus yang sering menyebabkan ISPA adalah rhinovirus, respiratory syntical viruses (RSV), adenovirus, virus parainfluenza, virus influenza, dan virus corona. Sementara itu, beberapa jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan ISPA adalah Streptococcus, Haemophilus, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, dan Chlamydia.

Adapun beberapa penyakit yang termasuk ke dalam ISPA antara lain batuk pilek (common cold), sinusitis, radang tenggorokan akut (faringitis akut), laringitis akut, pneumonia, dan COVID-19.

Berikut ini beberapa kondisi yang dapat menyebabkan ISPA serta penyakit lain yang bisa kita alami akibat paparan polusi udara.

1. Pneumonia

ilustrasi lansia mengalami pneumonia yang dirawat inap (freepik.com/wavebreakmedia_micro)

Polusi udara merupakan faktor risiko utama kematian akibat pneumonia, yaitu peradangan paru-paru yang disebabkan oleh infeksi. Diperkirakan 30 persen (749.200) dari seluruh kematian akibat pneumonia pada tahun 2019 disebabkan oleh polusi udara menurut Global Burden of Disease (GBD), dilansir Every Breath Counts.

Dari semua penyebab polusi udara, PM2.5 (berukuran kurang dari 30 diameter rambut manusia) merupakan penyebab beban penyakit terbesar. PM2.5 ini dipancarkan baik di luar maupun di dalam ruangan, dari kendaraan, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, aktivitas industri, pembakaran limbah, praktik pertanian, serta kegiatan memasak dan memanaskan rumah tangga yang menggunakan batu bara, arang, kayu, sisa pertanian, kotoran hewan, dan minyak tanah.

Sumber PM2.5 di luar ruangan dan di dalam ruangan berkontribusi terhadap kematian akibat pneumonia, tetapi tidak sama besarnya. Mayoritas (56 persen) kematian akibat pneumonia akibat polusi udara berasal dari rumah tangga, sementara 44 persen berasal dari luar ruangan. Meskipun kematian akibat polusi udara yang berasal dari rumah tangga telah menurun sejak tahun 2000, tetapi kematian akibat polusi udara luar ruangan sebenarnya meningkat, didorong oleh peningkatan kematian di Afrika dan Asia.

Tidak semua populasi sama-sama rentan terhadap kematian akibat pneumonia yang disebabkan oleh polusi udara. Mereka yang sangat muda dan sangat tualah yang paling berisiko. Sebanyak 40 persen kematian akibat pneumonia akibat polusi udara terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun, sementara 35 persen terjadi pada usia di atas 70 tahun.

Polusi udara rumah tangga mempunyai risiko lebih besar terjadinya pneumonia pada anak-anak, sedangkan polusi udara luar ruangan mempunyai dampak yang tidak proporsional terhadap kesehatan pernapasan pada lansia.

Di Indonesia, merujuk Air Pollution and Pneumonia Scorecard 2021 dari Every Breath Counts, jumlah kematian akibat pneumonia yang disebabkan oleh polusi udara adalah 7.500 orang. Sebanyak 45 persen disebabkan oleh polusi udara rumah tangga, sedangkan 55 persen disebabkan oleh polusi udara luar ruangan. Sebanyak 21 persen kematian dialami anak-anak usia di bawah 5 tahun.

Tergantung pada risiko, tahap infeksi, pneumonia sering kali awalnya ringan, menimbulkan gejala yang menetap, atau sangat mengancam jiwa. Mengutip dari Times of India, selain kesulitan bernapas, sesak dada, iritasi tenggorokan, gejala berikut perlu diperhatikan dengan tingkat polusi yang parah:

  • Demam, menggigil.
  • Batuk disertai dahak.
  • Sesak napas dan kesulitan bernapas.
  • Nyeri dada diperberat saat bernapas atau batuk.
  • Mual dan muntah.
  • Kelelahan.
  • Napas cepat atau mengi (kebanyakan pada anak kecil).

Baca Juga: Selain Kanker Paru, Polusi Udara Juga Bisa Sebabkan 4 Kanker Ini

2. Bronkitis kronis

ilustrasi bronkitis (freepik.com/stockking)

Bronkitis adalah kondisi yang ditandai dengan peradangan (pembengkakan) pada lapisan saluran bronkial, juga dikenal sebagai saluran udara di paru-paru. Tabung ini memainkan peran penting dalam transportasi udara ke dan dari paru-paru.

Orang dengan bronkitis biasanya batuk terus-menerus, seringnya batuk dengan dahak kental, berubah warna, atau ada semburat kemerahan (darah) di dalamnya. 

Ada dua jenis bronkitis, yaitu akut dan kronis. Keduanya disebabkan oleh virus, bakteri, atau partikel iritan. Serangan tersebut kemudian menyebabkan infeksi yang menyebabkan peradangan di dalam dinding saluran bronkial. Menurut penelitian, salah satu faktor risiko utama untuk kondisi ini adalah merokok. Namun, baru-baru ini beberapa kasus bronkitis telah dilaporkan di seluruh negeri, dan salah satu penyebab utama kondisi ini adalah peningkatan tingkat polusi udara secara tiba-tiba.

Dilansir TheHealthSite.com, saat menghirup kabut asap, asap tersebut melewati saluran udara paru-paru. Selama ini, kabut asap dapat menyebabkan radang saluran pernapasan atau saluran udara paru-paru, menyebabkan efek samping yang besar pada paru-paru, dan mengurangi kapasitasnya. Hal ini selanjutnya menyebabkan kesulitan bernapas, nyeri di dada, batuk, dan lain-lain. Fenomena ini dapat mengeringkan selaput pelindung yang ada di hidung dan tenggorokan sehingga mengganggu tindakan kekebalan tubuh terhadap infeksi dan penyakit pernapasan.

3. Tuberkulosis

ilustrasi pasien TBC dirawat di rumah sakit (freepik.com/DCStudio)

Tuberkulosis (TBC) adalah infeksi menular yang umumnya menyerang paru-paru. TBC merupakan ancaman global, dengan 10 juta kasus baru dan 1,5 juta kematian akibat infeksi pernapasan pada tahun 2018 saja. Di seluruh dunia, ini adalah penyebab utama kematian dari satu agen infeksi.

Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa tuberkulosis lebih banyak terjadi pada orang yang terpapar polusi udara, terutama polusi udara dalam ruangan di rumah yang menggunakan kayu bakar atau arang untuk memasak, misalnya.

Paparan polusi udara telah terkait dengan peningkatan risiko TBC, yang mana partikel polusi udara dapat memengaruhi respons imun tubuh terhadap infeksi sehingga meningkatkan kerentanan seseorang terhadap penyakit ini.

Menurut studi yang menyelidiki apakah polusi udara melemahkan respons kekebalan tubuh, para peneliti memaparkan sel-sel kekebalan ke partikel knalpot mesin diesel, kemudian memaparkan sel-sel yang sama itu ke Mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab TB. Sel-sel yang terpapar partikel tidak bereaksi terhadap bakteri penyebab TB seperti biasanya. Jadi ada sesuatu yang terjadi pada fungsi sel, dilansir Rutgers Global Health Institute.

Studi berikutnya tim peneliti menilai partikel yang dikumpulkan dari udara di Mexico City, yang terganggu oleh polusi udara luar kota. Para peneliti juga mengumpulkan sel kekebalan paru-paru dan darah dari penduduk Mexico City. Studi tersebut, terbit dalam jurnal Thorax tahun 2018, menunjukkan bahwa menghirup partikel polusi udara perkotaan melemahkan kekebalan tubuh terhadap TBC.

Menurut tim peneliti, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh mungkin menghadarpi banyak faktor, termasuk polusi udara, yang meningkatkan risiko TBC mereka.

TBC yang dipicu oleh polusi udara juga cenderung memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi dan perlu pengobatan yang lebih intensif. Tanpa pengobatan yang tepat, infeksi TBC berisiko menyebabkan kerusakan permanen pada organ yang terinfeksi, berpotensi menyebabkan kematian.

4. Asma

ilustrasi menggunakan inhaler untuk asma (freepik.com/krakenimages.com)

Paparan polusi udara selama masa perkembangan paru-paru anak-anak dapat meningkatkan risiko terkena asma pada masa dewasa. Partikel polusi udara dapat merusak perkembangan saluran pernapasan, meninggalkan dampak jangka panjang pada kesehatan pernapasan.

Proses tersebut terjadi karena partikel-partikel polusi udara dapat merusak jaringan paru-paru yang sensitif dan memengaruhi mekanisme pertahanan tubuh. Seiring waktu, dampak ini dapat memicu respons peradangan yang kronis dan mengubah kerja saluran pernapasan, meningkatkan kecenderungan terjadinya asma.

Sebuah tinjauan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health tahun 2020 menemukan bahwa polusi baik dalam maupun luar ruangan dapat berkontribusi terhadap perkembangan asma.

Efek dari stres oksidatif karena polusi udara dapat menyebabkan orang yang secara genetik rentan terkena asma, menurut studi dalam jurnal The Lancet.

Mengutip laporan dalam jurnal Environmental Health tahun 2021, paparan polusi udara terkait lalu lintas, khususnya selama trimester kedua kehamilan, juga memiliki kaitan dengan peningkatan risiko berkembangnya asma pada anak-anak.

Paparan polusi udara terkait lalu lintas pada masa kanak-kanak juga meningkatkan risiko asma. Sebuah penelitian dalam European Respiratory Journal tahun 2020 menemukan bahwa polusi udara pada awal kehidupan meningkatkan risiko seseorang terkena asma sejak masa kanak-kanak hingga dewasa awal.

Paparan ibu terhadap asap rokok dan ibu yang merokok juga dapat meningkatkan risiko bayi yang belum lahir terkena asma, tetapi predisposisi genetik juga dapat berperan.

Asma sebenarnya bukan ISPA, tetapi asma dan ISPA adalah dua gangguan saluran napas yang saling berhubungan, dilansir Ethical Digest. Asma adalah penyakit peradangan kronis saluran napas dan banyak melibatkan sel dan elemen seluler. Sementara itu, peradangan kronis menyebabkan hiperesponsif saluran napas. Akibatnya adalah mengi berulang, sesak napas dan batuk, terutama pada malam hari atau dini hari.

Ada penelitian yang menguji hipotesa bahwa infeksi virus menyebabkan serangan asma, yang menyebabkan penderita dirawat di rumah sakit. Ditemukan adanya hubungan yang kuat antara pola musiman infeksi saluran napas bagian atas dan perawatan di rumah sakit karena asma. Hubungan ini lebih kuat pada pasien anak-anak, daripada orang dewasa. Dari penelitian ini ditemukan bahwa infeksi saluran nafpas bagian atas dan perawatan di rumah sakit karena asma lebih sering terjadi pada masa sekolah (87 persen anak-anak dan 84 persen perawatan total), dibanding masa liburan.

Baca Juga: Polusi Udara Bisa Memicu Kejadian Radang Usus Buntu

Writer

Okki Kumara Athaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya