TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Penularan COVID-19 Diperkirakan Meningkat saat Musim Dingin, Kenapa?

Ada kecenderungan orang-orang berkumpul di dalam ruangan

pixabay.com

Belahan Bumi utara (northern hemisphere) bersiap-siap memasuki musim dingin. Banyak negara di sana yang berhasil menekan penyebaran COVID-19. Namun musim dingin dikhawatirkan dapat kembali meningkatkan angka penularan penyakit akibat virus corona strain baru, SARS-CoV-2, tersebut.

Dilansir CNBC, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mewaspadai musim gugur dan musim dingin. Pasalnya, WHO menyebut COVID sudah menewaskan setidaknya 50 ribu orang selama sepekan ke belakang.

Melansir Reuters, Kepala Teknis COVID-19 WHO, epidemiolog Maria van Kerkhove menyebut adanya tren mengkhawatirkan di beberapa negara tentang penularan COVID-19. Dia menyebut adanya peningkatan jumlah pasien di unit perawatan intensif (ICU) di negara-negara seperti Spanyol, Prancis, Montenegro, Ukraina, serta beberapa negara di Amerika Serikat.

Indonesia pun tengah bersiap memasuki musim hujan, yang menurut prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) adalah akhir bulan Oktober-November 2020 di sebagian besar wilayah Tanah Air. Cuaca pada musim hujan pun cenderung lebih dingin.

Kira-kira, apa pengaruh cuaca dengan penyebaran COVID-19? Yuk, simak!

1. WHO khawatirkan Eropa

Ilustrasi orang sakit saat musim dingin. pixabay.com

Bulan Oktober atau awal November, benua Eropa akan memasuki musim dingin. WHO mengkhawatirkan akan adanya peningkatan kasus di sejumlah negara. Padahal, banyak negara di sana yang telah berhasil "menjinakkan" penularan COVID-19.

Direktur Regional WHO untuk Eropa, Dr. Hans Kluge, mengatakan bahwa musim dingin bisa menjadi masalah serius bagi penyebaran virus corona di Eropa.

“Ini akan menjadi lebih sulit. Pada Oktober, November, kita akan melihat lebih banyak kematian," katanya seperti dikutip di CNBC.

Pernyataannya tersebut berdasarkan pada fakta di lapangan, setelah ditemukannya lebih dari 10 ribu kasus infeksi COVID-19 gelombang kedua di Prancis. Ini diberitakan oleh berbagai media pada 12 September lalu.

WHO mencatat, sebanyak 32 dari 55 negara di Eropa mengalami peningkatan lebih dari 10 persen untuk insiden COVID-19 selama 14 hari. Kenaikan ini adalah sebuah tanda peringatan yang harus diwaspadai.

Baca Juga: COVID-19 Airborne, Ini 7 Cara Minimalkan Penularan di Dalam Ruangan!

2. Pengaruh cuaca dengan penyebaran COVID-19

Ilustrasi musim hujan. pixabay.com/tienthinhphoto

Ada beberapa studi yang memprediksi pengaruh suhu, cuaca, dan iklim terhadap insidensi COVID-19. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa negara yang terletak pada lintang tinggi, atau semakin jauh dari garis ekuator, mempunyai kerentanan penyebaran COVID-19 lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara tropis.

Melansir laman medRxiv, studi berjudul "Spread of SARS-CoV-Coronavirus likely to be constrained by climate" menemukan bahwa kondisi ideal untuk penyebaran virus corona adalah suhu sekitar 8-10 derajat Celcius, dengan kelembapan 60-90 persen.

Penelitian berjudul "Temperature, humidity, and latitude analysis to predict potential spread and seasonality for COVID-19" dalam jurnal JAMA Network Open tahun 2020 menduga bahwa kombinasi dari suhu, kelembapan, dan kecepatan angin mungkin punya andil dalam penyebaran COVID-19.

Menurut sebuah studi dalam jurnal Frontiers in Public Health tahun 2020, iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus corona, karena kondisi iklim tropis sebenarnya dapat membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil. Namun, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan.

3. Perubahan gaya hidup

pixabay.com

Salah satu hal yang melatarbelakangi peningkatan jumlah kasus COVID-19 saat musim dingin adalah perubahan gaya hidup. Menurut Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, Dr. Mike Ryan, pada negara-negara yang memasuki musim dingin, kebanyakan aktivitas akan dilakukan di dalam ruangan dan diisi banyak orang.

Dr. Mike juga mengatakan bahwa orang-orang muda yang di tinggal di Eropa cenderung melakukan kontak lebih dekat dengan orang tua saat musim dingin tiba. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan penyebaran ke kelompok rentan.

Hal lainnya adalah peningkatan perjalanan internasional yang menyebabkan virus corona dapat menyebar ke seluruh dunia secara masif, misalnya untuk perayaan Thanksgiving, Natal, dan Tahun Baru.

Cuaca dan iklim mungkin merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya wabah COVID -19 saat pertama kali muncul di negara-negara lintang tinggi.

Bagaimana dengan Indonesia? Kemungkinan peningkatan kasus lebih dipengaruhi oleh tingkat mobilitas manusia dan interaksi sosial.

4. Kondisi di Indonesia

pixabay.com/Free-Photos

Pada saat yang sama, Indonesia rupanya juga sedang memasuki musim penghujan. Lantas, apakah kondisi di Indonesia akan menyerupai Eropa?

Menurut data dari BMKG, suhu rata-rata Indonesia paling tinggi adalah 35-37 derajat Celcius. Selain itu, sejak bulan Maret 2020, suhu rata-rata di Tanah Air adalah 27-30 derajat Celcius, dengan tingkat kelembapan udara atau humiditas antara 70-95 persen.

Menurut studi yang dikeluarkan oleh WHO, seharusnya lingkungan di Indonesia kurang ideal untuk penyebaran COVID-19. Namun, sejak kasus pertama kali terkonfirmasi pada bulan Maret lalu, angka penularannya terus menanjak.

Hal itu disebut-sebut terjadi akibat kondisi demografi manusia dan mobilitasnya yang tinggi. Karena itu, perlu pembatasan mobilitas penduduk dan interaksi sosial, disertai intervensi kesehatan masyarakat yang memadai.

Baca Juga: Survei: Alasan Kenapa Gen Z Lebih Serius dalam Menghadapi COVID-19

Verified Writer

Rizky Kusumo

Sedang menjajaki karir sebagai penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya