Suatu malam, kamu sedang duduk santai sambil menatap layar ponsel. Bukan scroll media sosial, tetapi membaca pesan yang menenangkan, "Kamu boleh cerita apa saja dan aku di sini mendengarkan tanpa menghakimi." Pesan itu bukan dari psikolog maupun psikiater, bukan juga dari pasangan atau sahabat, melainkan dari chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI). Walaupun bukan manusia, tetapi rasanya tetap hangat, seolah kamu tidak benar-benar sendirian.
Di era digital seperti sekarang dan masihnya banyaknya tantangan akses layanan kesehatan mental, chatbot berbasis AI pelan-pelan mengambil peran baru, yaitu menjadi teman curhat virtual yang siap sedia 24 jam. Bukan cuma ruang untuk meluapkan perasaan, tetapi juga memandu teknik-teknik terapi, meditasi, dan sebagainya.
Karena memberikan kemudahan dan kecepatan, banyak orang mulai bertanya-tanya apakah chatbot berbasis AI dapat menggantikan peran terapi dari ahli kesehatan mental yang sesungguhnya? Atau, setidaknya menjadi alternatif awal yang membantu? Yang pasti, asal digunakan dengan bijak, chatbot berbasis AI bisa mendukung kesehatan mental penggunanya.