Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Suasana SMA 72 Jakarta usai ledakan pada Jumat (7/11/2025) siang.
Suasana SMA 72 Jakarta usai ledakan pada Jumat (7/11/2025) siang (IDN Times/Santi Dewi)

Intinya sih...

  • Korban bullying bisa menjadi pelaku kekerasan karena tekanan yang tidak ditangani dengan tepat, menyebabkan frustrasi dan kemarahan terpendam.

  • Peran media sosial dalam memperkuat kemarahan korban bullying melalui konten ekstrem yang menormalisasi kekerasan atau balas dendam.

  • Orang tua dan sekolah memiliki peran penting dalam mendeteksi perubahan perilaku anak akibat bullying, serta perlunya penanganan bagi pelaku.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kasus peledakan di SMA 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) membuka babak baru dalam pembahasan soal bullying atau perundungan di lingkungan sekolah. Pelaku yang diduga merupakan korban perundungan membuat banyak orang bertanya-tanya mengenai bagaimana seseorang yang semula merupakan korban bisa berubah menjadi pelaku kekerasan, tindakan agresif, hingga ekstrem.

Fenomena ini menunjukkan bahwa luka akibat perundungan tidak selalu tampak di permukaan. Ada tekanan psikologis, rasa tidak berdaya, hingga kemarahan terpendam yang jika tidak ditangani dengan tepat bisa berujung pada tindakan ekstrem.

Dari kasus ini, masyarakat seakan diingatkan bahwa sekolah bukan cuma tempat belajar secara akedemik, tetapi juga ruang penting untuk mendeteksi dan memulihkan kesehatan mental siswa.

Kenapa korban perundungan bisa berubah menjadi pelaku?

Menurut Meiri Dias Tuti, M.Psi., Psikolog, korban perundungan bisa bertransformasi menjadi pelaku kekerasan ketika tekanan yang dialami tidak mendapatkan jalan keluar. Proses itu, katanya, sering kali berjalan perlahan dan tanpa disadari.

“Ketika seseorang menjadi korban bullying dalam waktu lama, ia bisa mengalami frustrasi dan mencari cara untuk menyalurkan rasa sakitnya. Di era media sosial seperti sekarang, ia juga bisa terpapar informasi yang memperkuat cara berpikir atau bahkan mendorongnya untuk melakukan tindakan tertentu,” ujar Meiri kepada IDN Times.

Ia menambahkan, korban yang tidak punya ruang aman untuk melawan kerap menyimpan amarahnya dalam diam dan menyalurkannya melalui perilaku agresif tersembunyi.

“Kadang, anak-anak atau remaja tidak bisa melakukan problem solving secara tepat. Mereka menanggapi dengan cara yang salah, misalnya membalas agar orang lain merasakan hal yang sama. Ini yang bisa berbahaya,” katanya.

Campur tangan media sosial

ilustrasi korban dan pelaku bullying atau perundungan. (IDN Times/Novaya)

Menurut Meiri, peran media sosial juga tidak bisa diabaikan. Di dunia maya, korban perundungan bisa menemukan berbagai konten ekstrem yang menormalisasi kekerasan atau membenarkan tindakan balas dendam.

“Era media sosial membuat korban mudah terpapar ide atau paham tertentu yang memperkuat kemarahannya. Ini bisa membuatnya kehilangan kemampuan untuk membedakan mana cara penyelesaian masalah yang sehat dan mana yang destruktif,” jelas Meiri.

Ia menegaskan bahwa setiap individu memiliki persepsi yang berbeda terhadap perundungan. Apa yang bagi seseorang terasa ringan, bisa menjadi pengalaman traumatis bagi orang lain.

“Segala sesuatu itu dipersepsikan berbeda-beda. Bagi satu orang mungkin tidak apa-apa, tapi bagi yang lain bisa menimbulkan stres, depresi, bahkan trauma mendalam,” lanjutnya.

Peran penting lingkungan

Dalam konteks ini, orang tua dan sekolah memiliki peran penting untuk lebih peka terhadap perubahan perilaku anak. Ia menuturkan, perubahan kecil seperti anak menjadi lebih pendiam, murung, atau kehilangan minat pada hal-hal yang dulu disukai bisa menjadi tanda bahwa ia mengalami tekanan psikologis akibat perundungan.

“Harapannya, orang tua tanggap terhadap perubahan anaknya, sehingga bisa segera berdiskusi dan mencari bantuan profesional,” imbuh Meiri.

Lebih jauh, psikolog tersebut menilai perlunya penanganan bukan hanya bagi korban, tetapi juga pelaku perundungan.

“Tidak hanya korban, pelaku bullying pun perlu dipulihkan. Mereka sering kali tidak menyadari bahwa perilaku mereka sudah melampaui batas dan bisa berdampak hukum. Tanpa intervensi, pola ini bisa berulang dan menimbulkan korban baru,” ia mengingatkan.

Penyebab perilaku ekstrem tidak selalu tunggal. Perlu kajian lebih dalam untuk memahami motif pelaku. Bisa jadi, faktor perundungan berkaitan dengan pengaruh lain, termasuk cara pandang atau nilai pribadi yang berbeda.

Meiri menegaskan bahwa perundungan bukan masalah sepele karena dampaknya luar biasa. Kalau tidak ditangani sejak awal, luka psikologisnya bisa terbawa hingga dewasa.

Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika kamu merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.

Saat ini, tidak ada layanan hotline atau sambungan telepon khusus untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia. Kementerian Kesehatan Indonesia pernah meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri pada 2010. Namun, hotline itu ditutup pada 2014 karena rendahnya jumlah penelepon dari tahun ke tahun, serta minimnya penelepon yang benar-benar melakukan konsultasi kesehatan jiwa.

Walau begitu, Kemenkes menyarankan warga yang membutuhkan bantuan terkait masalah kejiwaan untuk langsung menghubungi profesional kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat.

Kementerian Kesehatan RI juga telah menyiagakan lima RS Jiwa rujukan yang telah dilengkapi dengan layanan telepon konseling kesehatan jiwa:

  • RSJ Amino Gondohutomo Semarang | (024) 6722565

  • RSJ Marzoeki Mahdi Bogor | (0251) 8324024, 8324025

  • RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta | (021) 5682841

  • RSJ Prof Dr Soerojo Magelang | (0293) 363601

  • RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang | (0341) 423444

Selain itu, terdapat pula beberapa komunitas di Indonesia yang secara swadaya menyediakan layanan konseling sebaya dan support group online yang dapat menjadi alternatif bantuan pencegahan bunuh diri dan memperoleh jejaring komunitas yang dapat membantu untuk gangguan kejiwaan tertentu.

Editorial Team