5 Bentuk Bullying di Kantor yang Sering Dianggap Bercanda

Kantor sering dianggap tempat yang profesional. Tapi di balik meja kerja dan obrolan santai, banyak hal yang ternyata bisa menyakiti tanpa disadari. Candaan yang terdengar ringan kadang justru melukai orang lain, apalagi jika diulang terus-menerus. Fenomena ini sering terjadi karena budaya bercanda di kantor dianggap wajar, padahal beberapa sikap sudah melewati batas. Banyak orang tidak sadar mereka sedang jadi korban karena semua tampak seperti interaksi biasa antar rekan kerja.
Bullying di kantor bisa hadir lewat ucapan, perlakuan, atau keputusan kecil yang seolah tidak berbahaya. Bedanya dengan bercanda, bullying meninggalkan rasa malu, minder, atau bahkan stres berkepanjangan. Jika dibiarkan, hal ini bisa mengubah suasana kerja jadi tidak sehat. Berikut bentuk-bentuk perilaku yang sering dianggap bercanda, tapi sebenarnya termasuk bullying.
1. Sindiran halus yang mengurangi percaya diri

Bayangkan sedang rapat lalu rekanmu bilang, “kalau presentasi kamu pasti grogi ya, kelihatan banget,” sambil tertawa. Orang lain ikut menimpali dan kamu cuma bisa tersenyum supaya suasana gak kaku. Padahal di dalam hati, kamu jadi ragu setiap kali harus bicara di depan orang. Ini contoh sederhana dari sindiran halus yang bisa menggerus rasa percaya diri tanpa disadari.
Sindiran semacam ini sering muncul dalam bentuk “candaan motivasi”, misalnya “kerjamu pelan banget, tapi ya udah, yang penting selesai.” Pelaku merasa lucu, tapi korban justru makin takut membuat kesalahan. Kalau dibiarkan, kebiasaan menyindir bisa menciptakan atmosfer kerja yang tegang dan penuh tekanan. Mengingatkan dengan cara sopan jauh lebih sehat daripada menyamarkannya dalam lelucon.
2. Mengucilkan rekan dalam aktivitas tim

Salah satu bentuk pengucilan paling sering terjadi saat seseorang tidak diajak makan siang bareng atau dikeluarkan dari grup chat proyek. Awalnya mungkin tampak sepele, tapi kalau terus terjadi, korban mulai merasa tidak diterima di lingkungan kerja. Ketika semua orang punya informasi yang sama kecuali dia, rasa canggung dan tidak percaya diri muncul perlahan.
Ada juga kasus di mana seseorang sengaja tidak dilibatkan dalam rapat karena dianggap “gak penting” atau “belum paham urusan besar.” Padahal, pengucilan semacam ini bisa membuat korban kehilangan kesempatan belajar dan berkembang. Efeknya bukan cuma emosional, tapi juga profesional. Lingkungan kerja yang baik seharusnya tidak menutup akses hanya karena alasan pribadi.
3. Memberi tugas yang tidak proporsional atau tidak masuk akal

Bayangkan kamu baru seminggu bekerja, tapi sudah diminta mengurus laporan tahunan sendirian karena “biar sekalian belajar cepat.” Atau setiap kali tim punya tugas tambahan, kamu selalu jadi orang yang ditunjuk karena dianggap “paling rajin.” Dari luar terlihat seperti pujian, padahal bisa jadi bentuk eksploitasi halus yang bikin lelah secara mental.
Kondisi seperti ini sering disamarkan dengan alasan latihan tanggung jawab. Tapi jika pembagian tugas terus tidak seimbang, itu bukan lagi pembelajaran melainkan tekanan. Korban biasanya takut menolak karena khawatir dianggap tidak kompeten. Padahal, meminta kejelasan dan batas kerja adalah hal wajar agar tidak terjebak dalam pola kerja yang tidak sehat.
4. Mengolok penampilan atau gaya pribadi

Candaan seperti “kemejamu kayak taplak meja ya” atau “kamu kok tiap hari pakai warna gelap, lagi galau?” mungkin terdengar ringan, tapi dampaknya bisa besar. Banyak orang tidak sadar olokan semacam itu bisa membuat seseorang malu tampil di depan umum. Di tempat kerja, penampilan sering jadi sasaran lelucon, padahal bukan bagian dari kinerja.
Beberapa orang memilih diam karena tidak ingin dicap sensitif, tapi rasa tidak nyamannya tetap tertinggal. Kalau kebiasaan mengejek ini dibiarkan, hubungan profesional bisa rusak. Orang yang sering jadi bahan lelucon biasanya mulai menarik diri dan menghindari interaksi sosial. Menjaga batas humor penting agar suasana kerja tetap aman dan saling menghargai.
5. Menyebarkan rumor atau informasi tidak benar

Gosip di kantor sering dimulai dari kalimat kecil seperti, “katanya dia dekat sama atasan ya?” atau “kayaknya dia dapet promosi karena punya kenalan.” Awalnya terdengar iseng, tapi rumor seperti ini bisa merusak reputasi seseorang dalam waktu singkat. Apalagi jika disebar tanpa bukti, korban bisa merasa dihakimi oleh banyak orang tanpa sempat menjelaskan apa pun.
Selain bikin malu, rumor juga menciptakan suasana tidak nyaman di antara rekan kerja. Korban jadi enggan berinteraksi dan kehilangan kepercayaan terhadap lingkungan sekitar. Kadang pelaku tidak sadar bahwa obrolannya bisa berdampak besar. Karena itu, membatasi diri untuk tidak ikut menyebarkan gosip adalah cara paling sederhana untuk menghentikan budaya bullying di kantor.
Bullying di kantor tidak selalu datang dalam bentuk teriakan atau perlakuan kasar. Kadang ia muncul lewat tawa, sindiran, atau keputusan kecil yang dianggap biasa. Namun efeknya beragam mulai dari rasa cemas, minder, dan kehilangan semangat kerja. Mengenali bentuknya lebih awal membuatmu bisa melindungi diri dan membantu rekan lain keluar dari lingkungan kerja yang toksik



















