Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pengungsi.
ilustrasi pengungsi (dok. IDN Times/Novaya)

Intinya sih...

  • Peristiwa traumatis, seperti bencana, memberikan dampak serius dan jangka panjang terhadap kesehatan mental pengungsi, salah satunya dalam bentuk gangguan tidur.

  • Insomnia bisa berkembang menjadi kondisi kronis yang berdampak luas terhadap kesehatan dan kualitas hidup.

  • Pendekatan 3P untuk menangani gangguan tidur pada pengungsi: prediction, prevention, dan personalized treatment.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pengungsi, baik dalam konteks korban bencana maupun imigran, mengalami tingkat gangguan tidur yang sangat tinggi akibat stres, trauma, dan permukiman yang tidak memadai. Kesehatan tidur sangat berkaitan dengan kesejahteraan fisik dan mental, tetapi masih menjadi topik yang kurang dieksplorasi.

Masalah tidur yang dialami juga bisa beragam, mulai dari mimpi buruk hingga insomnia akut. Berikut beberapa hal yang perlu kamu ketahui tentang pengungsi dan kencenderungan mengalami gangguan tidur.

1. Trauma bencana besar picu insomnia berkepanjangan

Peristiwa traumatis, terutama bencana berskala besar, terbukti memberikan dampak serius dan jangka panjang terhadap kesehatan mental pengungsi, salah satunya dalam bentuk gangguan tidur. Trauma sering memicu gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan insomnia menjadi salah satu gejala yang paling umum serta bisa bertahan lama setelah kejadian.

Sebuah studi tentang Ledakan Beirut pada 4 Agustus 2020 menunjukkan bahwa 62,1 persen korban mengalami gejala insomnia. Kasus insomnia yang signifikan secara klinis lebih banyak ditemukan pada mereka yang tinggal dalam radius 6 km dari pusat ledakan. Paparan langsung seperti cedera fisik dan kerusakan properti juga berkaitan dengan tingginya angka insomnia.

Dampak serupa sangat mungkin terjadi pada pengungsi akibat bencana lain seperti banjir, gempa, atau konflik, yang sama-sama meninggalkan trauma mendalam pada kualitas tidur mereka.

2. Gangguan tidur akibat trauma bisa menimbulkan penyakit lain

Suasana di Masjid At Taqwa yang berada dalam kompleks Pertamina Rantau yang dijadikan titik pengungsian (Dok. Jefry for IDN Times)

Insomnia bisa berkembang menjadi kondisi kronis yang berdampak luas terhadap kesehatan dan kualitas hidup. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa gangguan tidur justru menjadi salah satu prediktor penting berkembangnya gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Selain itu, gangguan tidur pada korban trauma juga berkaitan dengan meningkatnya perilaku berisiko bagi kesehatan, seperti agresivitas, penyalahgunaan zat, hingga konsumsi alkohol berlebihan sebagai bentuk pelarian.

Secara fisiologis, paparan trauma dapat mengganggu sistem pengaturan stres tubuh, khususnya melalui disfungsi sumbu hipotalamus–pituitari–adrenal (HPA) dan aktivasi sistem saraf simpatik. Aktivasi berlebihan ini memicu kondisi hiperwaspada kronis yang membuat tubuh sulit memasuki fase tidur nyenyak.

Peningkatan hormon stres seperti CRH, ACTH, dan kortisol berkontribusi pada timbulnya insomnia yang menetap. Kondisi serupa juga ditemukan pada korban bencana besar lainnya, seperti Gempa Besar Jepang Timur, yang mana prevalensi insomnia melonjak signifikan beberapa bulan setelah bencana.

3. Pendekatan 3P untuk menangani gangguan tidur pada pengungsi

Temuan studi menekankan pentingnya penerapan pendekatan 3P (prediction, prevention, dan personalized treatment) dalam menangani gangguan tidur pada pengungsi.

  • Prediction: dilakukan melalui identifikasi faktor pencetus insomnia. Skrining gangguan tidur menggunakan kuesioner yang telah diterjemahkan, buku harian tidur, serta pemeriksaan langsung atau virtual termasuk skrining sleep apnea.

  • Prevention: diarahkan pada edukasi kesehatan tidur bagi pengungsi, baik perempuan maupun laki-laki, termasuk mereka yang bekerja dengan sistem shift.

  • Personalized medical approach: mencakup terapi perilaku kognitif untuk insomnia (CBT-I) yang telah diterjemahkan. Terapi imagery rehearsal juga bisa digunakan untuk mengatasi mimpi buruk, serta pemanfaatan layanan telehealth guna meningkatkan kepatuhan terapi tidur.

Pendekatan menyeluruh ini bertujuan meningkatkan kualitas tidur pengungsi sekaligus mendukung perbaikan kesehatan fisik, mental, dan efisiensi sistem layanan kesehatan.

Referensi

Talih, Farid, Chadi Antoun, Ismat Annan, Halim Saad, Tarek Bou Dargham, Pia Maria Ghanimé, and Firas Kobeissy. “Insomnia and Mental Health Outcomes After Catastrophic Disasters: A Cross-Sectional Study Examining the Long-Term Effects of the Beirut Port Explosion.” Neuropsychiatric Disease and Treatment Volume 21 (September 1, 2025): 2095–2107.

Kirsch, Jaclyn, Christine E. Spadola, Kabir Parikh, Kristen Kerr, and Hrayr Attarian. “Addressing Sleep Health in Refugee Populations: A Systematic Review of Intervention Effectiveness and Cultural Adaptation.” Social Sciences 14, no. 8 (August 7, 2025): 485.

Richter, Kneginja, Lisa Baumgärtner, Günter Niklewski, Lukas Peter, Melanie Köck, Stefanie Kellner, Thomas Hillemacher, and Antje Büttner-Teleaga. “Sleep Disorders in Migrants and Refugees: A Systematic Review With Implications for Personalized Medical Approach.” The EPMA Journal 11, no. 2 (May 13, 2020): 251–60.

Editorial Team