Kontroversi Rapid Test vs PCR, Mana yang Lebih Baik Digunakan Massal?

Rapid test memang lebih murah tapi akurasinya dipertanyakan

Rapid test masih menjadi alat uji COVID-19 yang paling banyak digunakan di Indonesia. Alasannya sederhana, karena lebih murah, mudah diakses, dan memberikan hasil dalam waktu yang cepat. 

Hasil rapid test bahkan diandalkan untuk melamar kerja, menggunakan transportasi umum jarak jauh, hingga sebagai syarat kembali bekerja di kantor. Namun, banyak ahli yang menentang tes cepat ini karena akurasinya yang rendah. Orang yang dinyatakan negatif belum tentu terbebas dari virus SARS-CoV-2, penyebab COVID-19. Begitu pula sebaliknya. 

Sementara itu, opsi lain untuk uji COVID-19 adalah tes PCR atau tes swab. Akurasinya memang lebih tinggi dan bisa diandalkan daripada rapid test, tetapi harganya jauh lebih mahal. Hal ini pun menimbulkan dilema di kalangan pakar dan masyarakat. 

Melalui wawancara eksklusif daring bersama Genomik Solidaritas Indonesia (GSI Lab), pakar mikrobiologi Universitas Indonesia, Prof. Pratiwi Sudarmono, angkat bicara mengenai hal ini dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh masyarakat. Berikut penjelasannya!

1. Rapid test dan PCR didasarkan pada spesimen yang berbeda

Kontroversi Rapid Test vs PCR, Mana yang Lebih Baik Digunakan Massal?Ilustrasi Tes Usap/PCR Test (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Satu hal mencolok yang membedakan rapid test dan tes PCR adalah dari spesimen yang digunakan. Tes PCR mengambil sampel berupa lendir di hidung dan tenggorokan, sedangkan rapid test terbagi menjadi dua, yakni yang berdasarkan antibodi (dari darah) dan antigen (lendir di hidung dan tenggorokan. Mari kita kupas satu per satu perbedaannya!

Yang pertama adalah tes PCR. Prof. Pratiwi menjelaskan bahwa tes ini dilakukan dalam dua tahap. Lendir yang diambil dari hidung dan tenggorokan akan diekstraksi. Hasil yang keluar akan mendeteksi apakah sampel mengandung RNA SARS-CoV-2 atau tidak. 

Untuk rapid test yang berbasis antibodi, sampel yang diambil adalah darah. Tes ini akan mendeteksi keberadaan imunitas yang dibentuk tubuh untuk memerangi SARS-CoV-2. Namun, imunitas tersebut baru terbentuk setelah 7-10 hari dari awal infeksi. 

Sementara itu, rapid test yang berbasis antigen memang lebih akurat daripada antibodi. Namun, standarnya tetap masih berada di bawah tes PCR. Dilansir CNN, tes ini hanya bisa mendeteksi 11-45,7 persen bagian virus.

2. Rapid test memang cepat dan murah, tapi akurasinya tak bisa diandalkan

Kontroversi Rapid Test vs PCR, Mana yang Lebih Baik Digunakan Massal?IDN Times/Paulus Risang

Rapid test, baik yang secara antibodi maupun antigen, memang bisa memberikan hasil secara kilat. Masyarakat biasanya hanya perlu menunggu 1-3 jam saja. Sementara untuk tes PCR, hasilnya baru bisa keluar setelah 1-3 hari.

Begitu pula dengan harga. Rapid test antibodi kini berkisar di harga Rp150 hingga Rp300 ribu. Rapid test antigen umumnya dipatok sekitar Rp600 ribu. Sementara untuk mendapatkan tes PCR, masyarakat harus mengeluarkan biaya minimal Rp1 juta.

Memang jauh lebih mahal, tetapi dari segi akurasi, tes PCR memang merupakan standar yang paling tinggi, begitu kata Prof. Pratiwi. Ini karena tes tersebut langsung mendeteksi virus, bukan respons imunitas yang bisa berbeda-beda pada setiap orang. 

"Hal ini kemudian menjadi dilematis, ya. Kita sudah memantau pemakaian rapid test. Contohnya orang bepergian misalnya dari Belanda ke Indonesia. Di awal semuanya negatif, tapi setelah 14 jam perjalanan, lalu dites lagi, pasti ada sekian orang yang positif.

Ini membuktikan bahwa yang negatif (dari rapid test) itu ada yang positif. False negative ini yang tidak diinginkan," terang Prof. Pratiwi. 

Baca Juga: Risiko COVID-19 di Pesawat dan Cara Melindungi Diri, Siap Terbang?

3. Ada alasan tertentu yang membuat harga tes PCR jauh lebih mahal

Kontroversi Rapid Test vs PCR, Mana yang Lebih Baik Digunakan Massal?Ilustrasi tes usap atau PCR swab test. IDN Times/Arief Rahman

Ahli mikrobiologi tersebut kemudian memaparkan kenapa tes PCR dipatok dengan harga yang begitu mahal. Berikut ini beberapa penyebabnya:

  • Kit atau mesin uji untuk tes PCR dibanderol seharga Rp500 hingga Rp600 ribu;
  • Mesin tersebut dibuat di luar negeri. Masih belum ada pabrik Indonesia yang mampu membuatnya;
  • Petugas medis harus mengenakan APD lengkap karena sampel diambil dalam jarak yang dekat;
  • Harus menggunakan jasa dokter dan analis yang kredibel;
  • Limbah sampel harus ditangani dengan baik karena mengandung virus;
  • Deteksi harus dilakukan di laboratorium khusus biosafety level 2.

4. Biaya rapid test bisa jauh lebih mahal jika kita ingin hasil yang akurat

Kontroversi Rapid Test vs PCR, Mana yang Lebih Baik Digunakan Massal?Pemerintah Kota Bandar Lampung menggelar rapid test massal gratis di Pasar Bambu Kuning, Kamis (13/8/2020). (IDN Times/Martin L Tobing)

Prof. Pratiwi menjelaskan bahwa sebenarnya biaya rapid test bisa jatuh lebih mahal, lho, dibandingkan tes PCR. Bagaimana bisa?

"Rapid test baru bisa reliable dapat dipercaya pada minggu kedua dari perjalanan sakitnya, sehingga kalau mau percaya tes ini, maka pemeriksaan harus diulang dua kali dalam seminggu. Kalau tidak, hasilnya sangat tidak bisa dipercaya," katanya. 

Jadi, untuk mendapatkan hasil yang bisa diandalkan, rapid test perlu dilakukan dua kali. Namun, ketika hasil dinyatakan reaktif atau positif, tes PCR harus dilakukan untuk memastikannya. Hal ini kemudian membuat tahap rapid test justru lebih panjang dan membutuhkan biaya lebih banyak.

"Maka untuk mencapai diagnosis yang pasti, malahan harganya (rapid test) bisa lebih mahal daripada PCR, lho," imbuh Prof. Pratiwi.

5. Rapid test vs PCR, mana yang sebaiknya digunakan untuk tes massal?

Kontroversi Rapid Test vs PCR, Mana yang Lebih Baik Digunakan Massal?Ilustrasi Tes Usap/PCR Test. IDN Times/Hana Adi Perdana

Saat ditanya mana tes uji COVID-19 yang lebih baik untuk digunakan oleh publik, Prof. Pratiwi dengan mantap mengatakan tes PCR. Sebab, tujuan dari tes adalah untuk melindungi masyarakat dan menjaga kesehatan satu sama lain. Untuk mencapainya, dibutuhkan hasil tes yang akurat dan bisa diandalkan. 

Namun kembali lagi, jika tidak mampu untuk melakukan tes PCR, rapid test bisa menjadi alternatif. Akan tetapi, masyarakat harus tahu bahwa opsi tersebut tidak bisa sepenuhnya diandalkan.

"Untuk saat ini, memang inilah cara-cara yang paling baik. Semoga sebisa mungkin kapasitas Indonesia untuk menyelenggarakan PCR ini ditingkatkan sebesar-besarnya," begitu tutur Prof. Pratiwi. 

Baca Juga: Metode Tes COVID-19 Baru Cuma dalam 15 Menit, Seberapa Akurat?

Topik:

  • Izza Namira
  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya