Eva menjelaskan bahwa tingginya konsumsi gula jadi faktor utama. Menurut Peraturan Kemenkes (Permenkes) No. 28/2019, rekomendasi asupan gula dibatasi kurang dari 52,5 gram (4 sendok makan) per hari. Namun, konsumsi gula Indonesia tertinggi ke-3 di Asia Tenggara.
Faktanya, rata-rata 5,5 persen penduduk Indonesia mengonsumsi gula lebih dari 50 gram per hari. Dari segi usia, bahayanya tren ini ditemukan lebih banyak pada usia lebih dari 55 tahun (13,7 persen). Selain itu, laki-laki mengonsumsi gula jauh lebih banyak (15,9 persen), dibanding perempuan (7,1 persen).
Konsumsi gula tinggi lebih padat di teh kemasan (13,26 persen), susu kental manis (5,2 persen), dan jus buah serbuk (4,82 persen). Menakutkannya, sebanyak 61,27 persen rakyat Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali setiap hari!
"Masyarakat kita ini seolah-olah sudah doyan minuman manis. Ini yang harus kita waspadai," ujar Eva.
ilustrasi fast food (unsplash.com/Peter Dawn)
Berdasarkan provinsi, prevalensi konsumsi GGL di Indonesia paling tinggi berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Maluku adalah yang paling rendah.
"Di bawah DIY, ada Kalimantan, Jawa Tengah, Bangka Belitung," imbuh Eva.
Menurut rata-rata nasional, Permenkes No. 30/2013 mencatat bahwa konsumsi gula harus kurang dari 50 gram per hari, garam kurang dari 2.000 mg per hari (1 sendok teh), dan lemak kurang dari 67 gram per hari (5 sendok makan). Masalahnya, sekitar 28,7 persen masyarakat melewati batas konsumsi GGL tersebut. Seperti apa?
- Sebanyak 5,5 persen populasi Indonesia mengonsumsi gula lebih dari 50 gram per hari.
- Sebanyak 53,5 persen populasi Indonesia mengonsumsi garam lebih dari 2.000 mg per hari.
- Sebanyak 24 persen populasi Indonesia mengonsumsi lemak lebih dari 67 gram per hari.
"Ini adalah alarm, sudah lampu merah, tidak boleh diteruskan. Bisa menuai lebih banyak penyakit tidak menularnya," kata Eva.