Di kamar, seorang remaja duduk sambil sibuk mengetik di ponselnya. Ia merasa dunia digital adalah ruang pribadinya, tempat ia bisa bercakap dengan teman, berbagi cerita, atau mencari hiburan. Baginya, privasi berarti kebebasan untuk tumbuh, bereksplorasi, dan menemukan jati diri.
Di sisi lain, orang tua merasa cemas karena tahu betapa luas dan tak terbatasnya internet. Ada konten yang bisa menginspirasi, tetapi ada pula yang bisa menjerumuskan. Rasa cemas itu hadir bukan semata karena ingin mengontrol, melainkan karena rasa sayang dan keinginan untuk melindungi.
Di era digital, benturan dua sudut pandang ini sering terjadi: remaja yang ingin dipercaya, dan orang tua yang ingin memastikan anaknya aman. Pertanyaannya, apakah remaja sudah cukup matang untuk memegang privasi penuh, atau masih perlu bimbingan agar tidak salah langkah di dunia maya yang makin kompleks?
