Mutu dan Produksi Obat Nasional: Antara Harapan dan Kenyataan

Intinya sih...
Sebelum akhirnya ada di tangan pasien, ada proses panjang dan penuh ketelitian di laboratorium pengujian.
Mutu obat tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar utama, yaitu kualitas (quality), keamanan (safety), dan efektivitas (efficacy). Ketiganya merupakan fondasi krusial yang saling berkaitan.
Dalam setiap produk farmasi, ada kolaborasi yang tak kasat mata antara akademisi, industri, dan pemerintah, yang semuanya penting untuk membangun ekosistem riset dan produksi yang berkelanjutan.
Di balik setiap obat yang kamu minum, entah itu untuk meredakan demam, mengendalikan tekanan darah, atau melawan infeksi, kamu tentu berharap obat tersebut aman, manjur, dan bermutu tinggi. Namun, memastikan mutu obat bukanlah perkara sepele. Ini menyangkut keselamatan jutaan pasien sekaligus mencerminkan kekuatan industri farmasi nasional.
Di tengah semangat meningkatkan produksi obat dalam negeri, tantangan justru datang dari hal-hal mendasar, seperti keterbatasan alat uji dan sumber daya manusia (SDM). Karena itu, lahirlah inisiatif yang mendorong penguatan laboratorium serta pendidikan ilmiah di Indonesia. Upaya ini tak bisa berjalan sendiri—perlu kolaborasi erat antara pemerintah, industri, dan akademisi demi menjamin bahwa setiap obat yang sampai ke tangan masyarakat benar-benar layak dipercaya.
1. Mutu obat harus ditopang kualitas, keamanan, dan efektivitas
Dalam dunia farmasi, mutu obat tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar utama, yaitu kualitas (quality), keamanan (safety), dan efektivitas (efficacy). Ketiganya merupakan fondasi krusial yang saling berkaitan. Tiga hal yang tampak teknis, namun sangat menentukan bagaimana obat bisa menyelamatkan nyawa atau justru menimbulkan risiko baru.
Pilar-pilar inilah yang menurut Prof. Dr. apt. rer. nat. Mochammad Yuwono, MS., Dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, menjadi fondasi dalam pengembangan dan pengawasan produk farmasi. Dalam media group interview pada Kamis (26/6/2025), ia menekankan bahwa upaya memenuhi ketiganya membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.
“Di dalam bidang farmasi terdapat tiga pilar utama yaitu kualitas, keamanan, dan efektivitas. Ketiga pilar sangat berkaitan terhadap kesehatan konsumen dan keamanan obat,” ujarnya.
Dengan kata lain, menjaga mutu obat bukan hanya tugas satu pihak. Dunia akademik yang mengembangkan ilmu, praktisi laboratorium yang melakukan pengujian, hingga industri penyedia alat uji—semuanya punya peran besar dalam memastikan bahwa setiap obat yang beredar benar-benar layak dan aman untuk digunakan.
2. Laboratorium pengujian masih terbatas
Sebelum akhirnya ada di tangan pasien, ada proses panjang dan penuh ketelitian di laboratorium pengujian, tempat yang layaknya menjadi benteng terakhir sebelum obat dinyatakan aman dan efektif untuk digunakan masyarakat. Prof. Yuwono menegaskan peran krusial laboratorium dalam sistem pengawasan mutu obat.
Namun, mewujudkan laboratorium yang ideal masih diwarnai tantangan. Di lapangan, banyak tantangan yang menghambat fungsi optimal laboratorium, baik di sektor pendidikan maupun industri. Salah satu hambatan terbesar adalah keragaman bentuk sediaan obat, yang masing-masing bentuk punya sifat fisikokimia berbeda dan membutuhkan metode uji spesifik.
Sayangnya, banyak laboratorium di Indonesia belum dilengkapi dengan instrumen analisis yang cukup canggih untuk menjawab kebutuhan tersebut. Tak hanya itu, keterbatasan bahan kimia dan baku pembanding di dalam negeri juga menjadi penghalang. Akibatnya, banyak laboratorium terpaksa bergantung pada bahan impor, yang proses pengadaannya sering kali memakan waktu panjang.
3. Pentingnya kolaborasi lintas sektor
Mewujudkan industri farmasi nasional yang kuat bukan sekadar soal teknologi atau modal, tetapi juga tentang kebersamaan dalam visi—bahwa mutu obat adalah hak setiap warga, dan tanggung jawab bersama untuk mewujudkannya. Dalam setiap produk farmasi, ada kolaborasi yang tak kasat mata antara akademisi, industri, dan pemerintah, yang semuanya penting untuk membangun ekosistem riset dan produksi yang berkelanjutan.
Prof. Yuwono menggarisbawahi pentingnya sinergi lintas sektor ini, terutama untuk mengatasi tantangan dalam industri dalam negeri, seperti ketergantungan pada bahan baku impor.
"Peningkatan kolaborasi antara akademisi, stakeholder, dan pemerintah menjadi fondasi untuk membangun ekosistem riset yang kokoh dan berkelanjutan," jelasnya.
Salah satu contoh nyata dari kolaborasi ini ditunjukkan oleh Merck melalui program Young Scientist Roadshow 2025, yang menjembatani dunia akademik dan industri. Dengan menghadirkan edukasi ilmiah kepada mahasiswa dan peneliti muda, program ini menjadi langkah awal dalam menyiapkan generasi baru yang mampu berkontribusi dalam pengawasan mutu obat.
Mutu obat yang tinggi tak bisa dicapai sendirian. Butuh alat uji yang memadai, SDM yang kompeten, dan sinergi antar pemangku kepentingan. Melalui kolaborasi yang strategis dan berkelanjutan, Indonesia tidak hanya bisa mandiri dalam produksi obat, tetapi juga dapat tampil sebagai negara yang inovatif dan berdaya saing di kancah global.