5 Risiko Kesehatan yang Berkaitan dengan Teknologi Reproduksi Berbantu

Di antaranya ada risiko preeklamsia dan kehamilan ektopik

Kemajuan di bidang kedokteran dan teknologi tidak hanya dapat menyembuhkan kita dari penyakit, tetapi juga membantu mengatasi masalah kesehatan, misalnya infertilitas.

Dilansir Badan Kesehatan Dunia (WHO), infertilitas adalah gangguan pada sistem reproduksi laki-laki atau perempuan, yang mana meskipun sudah melakukan hubungan seksual tanpa alat kontrasepsi selama satu tahun namun tidak dapat mencapai kehamilan.

Salah satu program kehamilan yang digunakan untuk mengatasi masalah infertilitas adalah teknologi reproduksi berbantu (TRB) atau assisted reproductive technology (ART) yang umumnya berupa inseminasi intrauterine (IUI) dan fertilisasi in vitro (IVF).

Program TRB tersebut berdampak positif bagi pasangan suami istri yang sudah lama mendambakan anak. Namun, tidak ada salahnya sebelum mengikuti program ini, kita mengetahui berbagai risiko yang bisa terjadi selama dan/atau setelah menjalani proses TRB.

1. Risiko kehamilan dengan jumlah janin tiga atau lebih

5 Risiko Kesehatan yang Berkaitan dengan Teknologi Reproduksi Berbantuilustrasi proses kelahiran bayi (pexels.com/Jonathan Borba)

Higher-order multifetal pregnancy adalah kehamilan di mana di dalam kandungan terdapat tiga janin atau lebih. Mengutip laman American College of Obsetricians and Gynecologists (ACOG), program fertilitas meningkatkan peluang untuk mengalami kehamilan dengan jumlah janin tiga atau lebih.

Demikian pula, kehamilan dengan tiga janin atau lebih berisiko pada kesehatan ibu dan bayi di dalam kandungan. Risiko ini lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang mengandung anak kembar (twin pregnancy).

Bayi yang lahir dari higher-order multifetal pregnancy berpeluang untuk lahir prematur, berat badan kurang dari berat normal, dan meninggal dunia saat lahir (stillbirth).

Dokter akan melakukan tindakan medis seperti berikut untuk mencegah multifetal pregnancy:

  • Menghentikan induksi ovulasi bila pasien berisiko tinggi untuk mengalami multifetal pregnancy.
  • Membatasi jumlah embrio yang akan ditransfer melalui IVF.
  • Tidak menggunakan metode ovarian hyperstimulation dengan gonadotropins (obat  yang digunakan untuk menangani infertilitas) apabila ada kecenderungan yang mengarah kepada multiple pregnancy.

2. Sindrom hiperstimulasi ovarium

5 Risiko Kesehatan yang Berkaitan dengan Teknologi Reproduksi Berbantuilustrasi sindrom hiperstimulasi ovarium (centromedicomanzanera.com)

Sindrom hiperstimulasi ovarium atau ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS) adalah komplikasi yang terjadi akibat proses induksi ovulasi yang kemudian menyebabkan indung telur membesar dan menjadi sakit.

Dilansir European Molecular Biology Organization (EMBO) Reports tahun 2013, perempuan yang melakukan TRB berisiko mengalami OHSS. Kurang lebih 5 persen dari pasien perempuan yang menjalani TRB akan mengalami OHSS sedang, dan sekitar 2 persen yang mengalaminya butuh perawatan di rumah sakit.

Mengutip Mayo Clinic, gejala OHSS ringan dan sedang antara lain seperti:

  • Sakit perut
  • Lingkar pinggang bertambah
  • Mual
  • Muntah 
  • Diare
  • Area indung telur menjadi sakit

Sementara itu, OHSS berat memiliki tanda dan gejala seperti:

  • Berat badan bertambah cepat
  • Sakit perut
  • Mengalami mual dan muntah terus-menerus
  • Napas menjadi pendek atau terengah-engah
  • Perut terasa kencang atau membengkak
  • Sering buang air kecil

Baca Juga: 7 Hal yang Membuat Perempuan Susah Hamil, yuk Antisipasi!

3. TRB berpotensi mengubah susunan atau pembentukan genetik

5 Risiko Kesehatan yang Berkaitan dengan Teknologi Reproduksi Berbantuilustrasi dokter sedang membahas hasil sonogram pasien (pexels.com/MART PRODUCTION)

Sebuah studi dalam jurnal Developmental Origins of Health and Disease tahun 2017 menemukan bahwa proses TRB berpeluang mengganggu proses pembentukan metilasi DNA di gamet di dalam pre-implantation embrio.

Epigenetic modification seperti metilasi DNA memiliki peranan penting di dalam pertumbuhan embrio dan janin. Gangguan yang terjadi berpotensi menyebabkan gangguan metabolisme seperti obesitas dan diabetes tipe 2 pada anak tersebut nantinya.

Tidak hanya itu, sebuah laporan ilmiah dalam jurnal Clinical Epigenetics tahun 2020 membahas akan adanya potensi pada janin atau bayi untuk mengalami gangguan yang berhubungan dengan perekaman genomik atau imprinting-related disorder, contohnya seperti sindrom Beckwith-Wiedemann. Risiko mengalami sindrom ini lebih tinggi bila calon ibu memiliki endometriosis (jaringan yang harusnya menutupi lapisan rahim tumbuh di luar rahim). 

4. Preeklamsia

5 Risiko Kesehatan yang Berkaitan dengan Teknologi Reproduksi Berbantuilustrasi ibu hamil yang dirawat di rumah sakit (pixabay.com/Parentingupstream)

Preeklamsia adalah kondisi di mana tekanan darah pada ibu hamil meningkat dan kadar protein di urine juga bertambah. Kondisi ini akan berbahaya bagi ibu dan bayi di dalam kandungan apabila tidak segera diobati.

Perempuan yang mengikuti program IVF atau bayi tabung berpeluang tinggi untuk mengalami preeklamsia, terutama saat melakukan proses transfer embrio beku.

Dilansir American Heart Association, saat pasien melakukan proses transfer embrio beku, corpus luteum tidak terbentuk. Corpus luteum adalah kumpulan sel yang terbentuk di dalam indung telur setelah ovulasi. Corpus luteum ini menghasilkan hormon yang dapat menjaga kehamilan sekaligus membantu tubuh untuk menyesuaikannya.

Dikarenakan corpus luteum tidak terbentuk secara alami, salah satu hormon bernama relaksin yang bertugas untuk merelaksasi pembuluh darah tidak ada. Akibatnya, pembuluh darah dapat menjadi kaku dan kondisi ini berpotensi memicu preeklamsia.

5. Kehamilan ektopik

5 Risiko Kesehatan yang Berkaitan dengan Teknologi Reproduksi Berbantuilustrasi kehamilan ektopik (apollocradle.com)

Kehamilan ektopik adalah kondisi ketika mana telur yang sudah dibuahi berada di luar rahim. Menurut sebuah laporan dalam jurnal Obstetric and Gynecology tahun 2015, risiko mengalami kehamilan ektopik tinggi apabila calon ibu memiliki tubal factor infertility dan menjalani TRB. Tubal factor infertility adalah sebuah kondisi di mana tuba falopi mengalami penyumbatan yang mengakibatkan sel telur dan sperma tidak dapat bertemu.

Sebuah studi yang dilakukan di Rusia yang hasilnya dilaporkan dalam jurnal Gynecological Endocrinology tahun 2016 menambahkan faktor lain seperti pernah mengalami usus buntu dan infeksi klamidia juga meningkatkan risiko kehamilan ektopik setelah proses TRB. Transfer embrio beku dapat meminimalkan risiko kehamilan ektopik.

Melalui ulasan di atas, bisa disimpulkan kalau kondisi medis seperti endometriosis dan tubal factor infertility perlu perhatian ekstra selama melakukan proses teknologi berbantu. 

Inilah sebabnya kita perlu jujur saat menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh dokter sewaktu skrining program TRB. Ini karena dokter akan memilih langkah TRB yang sesuai dengan kondisi medis kedua orang tua. Jangan ragu atau malu untuk bertanya kepada dokter mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses TRB.

Baca Juga: Kehamilan Ektopik: Penyebab, Gejala, Diagnosis, Pengobatan

Maria  Sutrisno Photo Verified Writer Maria Sutrisno

"Less is More" Ludwig Mies Van der Rohe.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya