Kenapa Pengidap Long COVID Bisa Mengalami Gejala Neurokognitif?

Setelah cairan tubuh diteliti, ini jawabannya!

Kamu pasti pernah mendengar istilah long COVID atau post COVID condition (PCC). Long COVID didefinisikan sebagai tanda, gejala, dan kondisi yang berlanjut atau berkembang setelah fase akut COVID-19. Gejala long COVID bisa menetap hingga berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.

Tidak sedikit pengidap long COVID yang mengeluhkan gejala neurokognitif, seperti kehilangan memori, sulit berkonsentrasi, dan mengalami brain fog atau kabut otak. Mengapa ini bisa terjadi?

1. Fakta-fakta menarik seputar long COVID

Prevalensi long COVID di seluruh dunia pada tahun 2020–2021 diperkirakan mencapai 31,4 juta kasus ringan dan 5,11 juta kasus parah yang memerlukan perawatan di rumah sakit (medRxiv, 2022). Sementara itu, menurut data dari Covid Survivor Indonesia pada periode 11 Maret–8 Agustus 2021, dari 496 orang yang terinfeksi COVID-19, sebanyak 349 di antaranya (70,3 persen) mengalami long COVID.

Gejala long COVID yang paling banyak dikeluhkan adalah kelelahan ekstrem, sesak napas, hilangnya bau atau rasa, jantung berdebar, nyeri sendi dan otot, nyeri dada, sulit tidur, hingga sulit berpikir atau konsentrasi (brain fog).

Yang lebih mungkin terkena long COVID adalah orang yang tidak mendapatkan vaksin COVID-19, memiliki masalah kesehatan (seperti diabetes, asma, atau penyakit autoimun), berusia tua, obesitas, serta mengalami COVID-19 dengan gejala berat, sehingga harus dirawat secara intensif di rumah sakit.

2. Pengidap long COVID banyak yang mengalami gejala neurokognitif

Kenapa Pengidap Long COVID Bisa Mengalami Gejala Neurokognitif?ilustrasi kesulitan berkonsentrasi (pixabay.com/Robin Higgins)

Studi yang diterbitkan dalam The Journal of Infectious Diseases pada 24 Oktober 2023 melibatkan 31 orang yang terkonfirmasi COVID-19, terdiri dari 17 laki-laki dan 14 perempuan.

Dari total partisipan, sebanyak 25 orang memiliki gejala long COVID neurokognitif—kehilangan memori dan kesulitan berkonsentrasi pada 16 orang (64 persen) dan 7 orang (28 persen) mengalami kabut otak. Sisanya (6 orang) pernah mengalami COVID-19 namun sudah pulih sepenuhnya. Usia rata-rata kelompok pertama adalah 50 tahun dan 60 tahun untuk kelompok kedua.

Lalu, 31 orang tersebut menjalani pungsi lumbal atau spinal tap (untuk mengambil sampel cairan serebrospinal) dan pengambilan darah. Ini bertujuan untuk mencari perubahan pada sistem kekebalan tubuh serta mencari perubahan pada sel saraf yang bisa memengaruhi transmisi sinyal ke otak.

3. Gejala tersebut dikaitkan dengan fase akut COVID-19

Setelah sampel tersebut dipelajari, para peneliti tidak menemukan bukti adanya replikasi virus, aktivasi kekebalan, atau inflamasi yang sedang berlangsung dalam plasma atau cairan serebrospinal pada pasien long COVID yang mengalami gejala neurokognitif. Lantas, mengapa mereka bisa mengalami gejala tersebut?

Gejala neurokognitif tersebut diperkirakan terkait dengan peristiwa yang terjadi selama fase akut COVID-19, bukan akibat infeksi virus yang persisten atau reaktivasi virus. Selama fase akut berlangsung, terjadi peradangan sistem saraf pusat, yang kemudian menimbulkan gejala seperti kehilangan memori, kesulitan berkonsentrasi, dan kabut otak.

Baca Juga: Mantan Pasien COVID-19 Lebih Mungkin Terkena Penyakit Autoimun

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya