ilustrasi survivor's guilt (freepik.com/freepik)
Ada beberapa faktor yang memengaruhi survivor's guilt terkait bencana banjir:
Kedekatan sosial dengan korban
Penyintas yang tinggal di lingkungan komunal, seperti desa atau kampung padat penduduk, cenderung lebih rentan mengalami survivor’s guilt. Ikatan sosial yang kuat membuat penderitaan orang lain terasa sangat personal.
Ketika korban adalah tetangga dekat, kerabat, atau teman sehari-hari, rasa bersalah sering kali muncul bersamaan dengan duka. Penyintas tidak hanya berduka atas kehilangan orang lain, tetapi juga mempertanyakan mengapa mereka sendiri masih memiliki sesuatu.
Penelitian menunjukkan bahwa makin dekat hubungan emosional seseorang dengan korban, makin tinggi risiko munculnya survivor’s guilt, terutama jika tidak ada ruang aman untuk mengekspresikan emosi tersebut.
Perbedaan tingkat kerugian atau kehilangan
Survivor’s guilt juga dipicu oleh ketimpangan dampak bencana. Seseorang yang rumahnya hanya terendam sebagian dapat merasa bersalah melihat tetangganya kehilangan tempat tinggal sepenuhnya.
Perbedaan ini sering diperparah oleh distribusi bantuan yang tidak merata. Mendapat bantuan lebih dulu atau lebih banyak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan konflik batin.
Alih-alih merasa lega, penyintas justru menekan emosinya sendiri demi “memberi ruang” pada penderitaan orang lain.
Norma budaya dan tekanan sosial
Dalam budaya kolektif seperti di Indonesia, ada nilai kuat tentang kebersamaan dan empati. Meski positif, nilai ini kadang membuat seseorang merasa tidak pantas untuk merasa baik-baik saja ketika orang lain menderita.
Ungkapan seperti “yang penting masih selamat” sering dimaksudkan sebagai penguatan, tetapi bagi sebagian penyintas justru memperdalam rasa bersalah karena mereka merasa tidak boleh mengeluh atau sedih.
Tekanan untuk terlihat kuat dan bersyukur dapat menunda proses pemulihan emosional.