Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Bendera putih di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.
Bendera putih di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Intinya sih...

  • Survivor’s guilt adalah respons psikologis umum setelah bencana, termasuk banjir.

  • Kedekatan sosial dan ketimpangan dampak memperbesar risiko rasa bersalah.

  • Dukungan psikososial dan validasi emosi penting dalam proses pemulihan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pascabanjir, akhir perlahan surut, lumpur mengering, dan kehidupan pelan-pelan kembali berjalan. Namun, bagian beberapa penyintas banjir, fase setelah bencana justru menjadi masa paling sunyi. Mungkin, ketika sedang bersih-bersih rumah dan menghitung kerugian, muncul perasaan yang sulit dijelaskan, yairu rasa bersalah karena selamat (survivor's guilt).

Di banyak wilayah terdampak banjir besar, ada warga yang kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan orang-orang terdekat. Di sisi lain, ada pula yang relatif “lebih beruntung”: rumah masih berdiri, keluarga selamat, bantuan datang lebih cepat. Perbedaan nasib ini sering kali menimbulkan pergulatan batin.

Rasa bersalah tersebut jarang dibicarakan, apalagi diakui. Secara psikologis, kondisi ini dikenal sebagai survivor’s guilt, yaitu respons emosional yang nyata dan manusiawi pada situasi bencana.

Apa itu survivor’s guilt dan mengapa bisa terjadi pada korban banjir?

Survivor’s guilt adalah perasaan bersalah yang dialami seseorang karena selamat dari peristiwa traumatis ketika orang lain mengalami penderitaan yang lebih berat atau meninggal dunia.

Kondisi ini awalnya banyak dibahas pada penyintas perang dan kecelakaan massal, tetapi penelitian modern menunjukkan bahwa bencana alam, termasuk banjir, juga dapat memicunya.

Dalam konteks banjir, survivor’s guilt sering muncul ketika seseorang membandingkan kondisinya dengan tetangga, teman, atau kerabat yang kehilangan segalanya. Pikiran seperti “Seharusnya aku yang terkena,” atau “Aku tidak pantas merasa lega,” dapat muncul berulang kali. Rasa empati yang kuat bercampur dengan ketidakberdayaan membuat emosi ini makin kompleks.

Secara psikologis, survivor’s guilt berkaitan erat dengan trauma. Otak mencoba mencari makna dari peristiwa yang kacau dan tidak adil. Ketika tidak ada penjelasan logis mengapa satu orang selamat sementara yang lain tidak, rasa bersalah sering kali menjadi jawabannya.

Beberapa faktor yang memengaruhi survivor's guilt

ilustrasi survivor's guilt (freepik.com/freepik)

Ada beberapa faktor yang memengaruhi survivor's guilt terkait bencana banjir:

  1. Kedekatan sosial dengan korban

Penyintas yang tinggal di lingkungan komunal, seperti desa atau kampung padat penduduk, cenderung lebih rentan mengalami survivor’s guilt. Ikatan sosial yang kuat membuat penderitaan orang lain terasa sangat personal.

Ketika korban adalah tetangga dekat, kerabat, atau teman sehari-hari, rasa bersalah sering kali muncul bersamaan dengan duka. Penyintas tidak hanya berduka atas kehilangan orang lain, tetapi juga mempertanyakan mengapa mereka sendiri masih memiliki sesuatu.

Penelitian menunjukkan bahwa makin dekat hubungan emosional seseorang dengan korban, makin tinggi risiko munculnya survivor’s guilt, terutama jika tidak ada ruang aman untuk mengekspresikan emosi tersebut.

  1. Perbedaan tingkat kerugian atau kehilangan

Survivor’s guilt juga dipicu oleh ketimpangan dampak bencana. Seseorang yang rumahnya hanya terendam sebagian dapat merasa bersalah melihat tetangganya kehilangan tempat tinggal sepenuhnya.

Perbedaan ini sering diperparah oleh distribusi bantuan yang tidak merata. Mendapat bantuan lebih dulu atau lebih banyak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan konflik batin.

Alih-alih merasa lega, penyintas justru menekan emosinya sendiri demi “memberi ruang” pada penderitaan orang lain.

  1. Norma budaya dan tekanan sosial

Dalam budaya kolektif seperti di Indonesia, ada nilai kuat tentang kebersamaan dan empati. Meski positif, nilai ini kadang membuat seseorang merasa tidak pantas untuk merasa baik-baik saja ketika orang lain menderita.

Ungkapan seperti “yang penting masih selamat” sering dimaksudkan sebagai penguatan, tetapi bagi sebagian penyintas justru memperdalam rasa bersalah karena mereka merasa tidak boleh mengeluh atau sedih.

Tekanan untuk terlihat kuat dan bersyukur dapat menunda proses pemulihan emosional.

Penanganan survivor’s guilt pascabanjir

Langkah pertama dalam penanganan survivor’s guilt adalah validasi emosi. Rasa bersalah ini bukan tanda kelemahan atau ketidakbersyukuran, melainkan respons manusiawi terhadap situasi ekstrem.

Pendekatan psikososial yang dianjurkan menekankan pentingnya pertolongan pertama psikologis (psychological first aid), seperti mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan rasa aman, dan membantu penyintas kembali merasa memiliki kendali atas hidupnya.

Pada kasus yang menetap atau memberat, konseling psikologis dan terapi berbasis trauma, seperti terapi perilaku kognitif (CBT), terbukti membantu mengurangi rasa bersalah dan pikiran menyalahkan diri sendiri.

Pencegahan survivor’s guilt dalam konteks bencana

Mobil-mobil yang berserakan di antara puing-puing bekas banjir bandang Aceh Tamiang, Senin (8/12/2025) (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pencegahan tidak berarti menghilangkan empati, tetapi membantu penyintas memahami bahwa keselamatan mereka bukanlah suatu kesalahan. Edukasi kesehatan mental pascabencana menjadi kunci penting.

Pendekatan komunitas, seperti ruang berbagi cerita di pengungsian atau kelompok dukungan warga, dapat membantu menormalkan emosi dan mengurangi isolasi.

Selain itu, distribusi bantuan yang transparan dan adil dapat menurunkan rasa bersalah akibat ketimpangan yang dirasakan penyintas.

Survivor’s guilt adalah luka psikologis yang sering tersembunyi karena seseorang selamat dari bencana. Dalam konteks banjir, perasaan ini dapat muncul ketika penyintas membandingkan nasibnya dengan orang-orang di sekitarnya.

Memahami bahwa rasa bersalah ini adalah respons manusiawi menjadi langkah awal pemulihan. Dengan dukungan sosial, pendekatan psikologis yang tepat, dan ruang aman untuk bercerita, penyintas dapat belajar menerima keselamatan sebagai awal untuk bangkit, bukan beban yang harus ditanggung sendirian.

Referensi

American Psychological Association. “Survivor Guilt.” APA Dictionary of Psychology. Diakses Desember 2025.

World Health Organization. "Psychological First Aid: Guide for Field Workers, 2011". Diakses Desember 2025.

Hobfoll, Stevan E., et al. “Five Essential Elements of Immediate and Mid–Term Mass Trauma Intervention.” Psychiatry 70, no. 4 (2007): 283–315.

Norris, Fran H., et al. “Psychosocial Consequences of Natural Disasters.” Psychological Bulletin 129, no. 2 (2003): 207–239.

Goldmann, Emily, and Sandro Galea. “Mental Health Consequences of Disasters.” Annual Review of Public Health 35 (2014): 169–183.

Editorial Team