Selain Bisa Berbahaya, DBD Juga Bisa Membebani Ekonomi Pasien

Dampak ekonomi bagi pasien DBD cukup signifikan

Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kasus demam berdarah dengue (DBD) tertinggi di dunia. Menurut data Kementerian Kesehatan RI, sebanyak 42.690 orang terinfeksi DBD dan 317 orang meninggal pada periode Januari–Juli 2023. 

Tak hanya bisa membahayakan kesehatan dan mengancam nyawa, DBD juga bisa membebani ekonomi pasien.

Dalam acara InaHEA Biennial Scientific Meeting 2023 yang didukung Takeda, dr. Nandyan N. Wilastonegoro, M.Sc.I.H, Deputi Direktur CFHC-IPE, FK-KMK UGM, membahas lebih lanjut tentang dampak sosial bagi pasien DBD. 

1. Angka pasien DBD terus meningkat

Selain Bisa Berbahaya, DBD Juga Bisa Membebani Ekonomi Pasienilustrasi pasien di rumah sakit (pexels.com/RODNAE Productions)

Menurut dr. Nandyan, kasus DBD mengalami kenaikan yang dramatis. Per tahun, diperkirakan ada 58 juta hingga 105 juta kasus di seluruh dunia. Kenaikan juga terlihat pada disability-adjusted life year (DALY), yaitu jumlah kehilangan kehidupan yang sehat akibat kematian dini atau kecacatan. 

Pada tahun 1990 berada pada angka 800 ribu, dan tahun 2016 menyentuh angka 2,8 juta. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beban DBD yang terbesar di dunia, yang mana diperkirakan ada sekitar 7,8 juta kasus DBD.

Dokter Nandyan memaparkan bahwa dampak yang dirasakan pasien DBD berkaitan dengan tantangan dan hambatan akses pelayanan DBD dalam masyarakat, terutama pada kelompok marginal. 

"Dari sisi beban keuangan DBD, sebagian besar ditanggung dengan keuangan rumah tangga, dan diikuti oleh JKN dan kontribusi dari kerabat," ucap dr. Nandyan pada Senin (30/11/2023) melalui keterangan tertulis. 

2. Total cost pasien DBD cukup signifikan

Selain Bisa Berbahaya, DBD Juga Bisa Membebani Ekonomi Pasienilustrasi uang kertas (Pexels.com/Ahsanjaya)

Menambahkan informasi dari dr. Nandyan, Prof. Dr. drg. Mardiati Nadjib, M.Sc, Guru Besar FKM UI, menyatakan bahwa dampak ekonomi bagi pasien DBD cukup signifikan.

Total cost (langsung dan tidak langsung) dilaporkan mencapai sebesar USD 791 (sekitar Rp12 juta) di Yogyakarta, USD 1.241 (sekitar Rp19 juta) di Bali, dan USD 1.250 (sekitar Rp19 juta di Jakarta.

Beban DBD setiap tahunnya menurut penelitian Sheppard (2018) banyak berasal dari biaya rawat inap (922.000 orang) dan rawat jalan (1,7 juta orang). Kemudian diikuti oleh perawatan sendiri (4,6 juta orang) yang membuat mereka harus berhenti bekerja atau sekolah. 

Dari angka tersebut, diperkirakan Indonesia kehilangan 311.744 DALY setiap tahun, yang terdiri dari 71,9 persen karena disabilitas dan 28,1 persen karena fatalitas. 

Baca Juga: Apa Benar Vaksin HPV Bisa Sebabkan Kemandulan?

3. Beban ini bisa dicegah dengan meningkatkan upaya pencegahan

Selain Bisa Berbahaya, DBD Juga Bisa Membebani Ekonomi Pasienilustrasi InaHEA Biennial Scientific Meeting 2023 (dok. Takeda)

Dengan besarnya beban ekonomi pada kasus DBD, Prof. Mardiati menyarankan Indonesia harus memperbaiki sistem pencatatan pelaporan kasus. Selain itu, meningkatkan upaya pencegahan, seperti vektor kontrol dan pengembangan vaksin, juga penting dilakukan untuk menekan beban dari kasus DBD. 

"Jika hal ini tidak dilakukan, Indonesia berpotensi mengalami kerugian. Jika Indonesia tidak bisa menekan beban ekonomi akibat DBD, maka jumlah kasus akan terus meningkat," kata Prof. Mardiati.

Bila jumlah kasus meningkat, beban untuk pasien dan orang sekitarnya juga akan meningkat. Ini termasuk beban bagi BPJS Kesehatan, pemerintah, serta masyarakat yang terdampak DBD.

Selain membahayakan kesehatan penderitanya, DBD bisa juga berdampak pada aspek sosial dan finansial pasien. Meningkatkan upaya pencegahan DBD bisa menjadi solusi untuk mengurangi beban tersebut.

Baca Juga: Waspada Fenomena El Nino, Cegah DBD dengan Vaksinasi

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya