ilustrasi transfusi darah (unsplash.com/Nguyễn Hiệp)
Penyakit sel sabit memengaruhi hemoglobin, protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen. Mutasi genetik menyebabkan sel darah merah menjadi berbentuk sabit, berpotensi menghambat aliran darah dan menyebabkan rasa sakit yang menyiksa, termasuk kerusakan organ, stroke, dan masalah lainnya.
Jumlah penderita penyakit sel sabit secara global meningkat sebesar 41,4 persen, dari 5,46 juta pada tahun 2000 menjadi 7,74 juta pada 2021. Diperkirakan 34.400 kematian yang disebabkan oleh berbagai usia secara global pada 2021, tetapi total beban kematian akibat penyakit sel sabit hampir 11 kali lebih tinggi yaitu 376.000. Pada anak-anak di bawah usia 5 tahun, terdapat 81.100 kematian, dengan peringkat total kematian akibat penyakit sel sabit berada pada peringkat ke-12 (dibandingkan dengan peringkat ke-40 untuk kematian akibat penyakit sel sabit yang disebabkan oleh penyebab tertentu) di seluruh penyebab yang diperkirakan oleh Global Burden of Disease (GBD) pada 2021 (The Lancet Haematology, Agustus 2023).
Penyakit ini lebih sering terjadi pada orang-orang yang berasal dari tempat di mana malaria sering terjadi, seperti Afrika dan India, juga lebih sering terjadi pada kelompok etnis tertentu, seperti orang keturunan Afrika, Timur Tengah, dan India.
Perawatan yang saat ini dilakukan termasuk obat-obatan dan transfusi darah. Satu-satunya solusi permanen ialah dengan transplantasi sumsum tulang, yang harus berasal dari donor yang sangat cocok dan tidak memiliki penyakit serta risiko penolakan.
Nah, untuk terapi gen "exa-cel" yang dibuat oleh Vertex Pharmaceuticals dan CRISPR Therapeutics, donor tidak diperlukan. Perawatan baru ini melibatkan perubahan permanen DNA dalam sel darah pasien.
Tujuannya adalah membantu tubuh kembali memproduksi hemoglobin dalam bentuk janin, yang secara alami sudah ada saat lahir namun kemudian berubah menjadi bentuk yang rusak saat dewasa pada penderita penyakit sel sabit.
Vertex mengatakan terdapat 46 orang yang menjalankan pengobatan dalam studi penting tersebut. Dari 30 orang yang menjalani masa tindak lanjut selama 18 bulan, sebanyak 29 orang di antaranya bebas dari krisis nyeri selama satu tahun dan 30 orang terhindar dari rawat inap.
Ketika pasien menjalani pengobatan, sel induk dikeluarkan dari darah mereka dan CRISPR digunakan untuk mematikan gen peralihan. Pasien mendapatkan obat-obatan untuk membunuh sel-sel penghasil darah lain yang cacat, kemudian diberikan kembali sel induk yang telah diubah.