Alex Garland dan Idealismenya Bikin Film Indie Bergenre Sains-Fiksi

Kukuh meski sering dapat mixed review

Meski namanya asing di telinga, Alex Garland adalah sosok di balik film sci-fi atau sains fiksi yang cukup tersohor. Mulai The Beach (2000), 28 Days Later (2002), Never Let Me Go (2010), Ex Machina (2014), dan Annihilation (2018), ternyata semua film itu digarap oleh penulis skenario sekaligus sutradara asal Inggris tersebut. 

Hal menarik dari Garland adalah keberanian dan kenekatannya memproduksi film-film sains fiksi secara independen. Ini membuat filmnya otentik dan berbeda, tetapi di satu sisi juga terancam flopped alias gagal karena kurangnya eksposur dan upaya pemasaran.

Apa yang mendasari Alex Garland mengambil jalur ninja ini? Berikut sepak terjang sutradara Alex Garland dengan idealismenya bikin film indie bergenre sains fiksi.

1. Dari menulis novel jadi penulis naskah

Alex Garland dan Idealismenya Bikin Film Indie Bergenre Sains-Fiksi28 Days Later (dok. IFC Film/28 Days Later)

Lompatan karier Garland cukup drastis. Ia seorang penulis novel sebelum merambah industri film. Semua dimulai dengan buku The Beach yang mengantarnya mengenal sutradara Danny Boyle.

Setelah diadaptasi jadi film dengan bantuan rumah produksi indie, Figment Films, hasilnya mencengangkan. The Beach (2000) dipuji dan dihujat sekaligus, terutama soal kontroversi perusakan alam yang dilakukan saat proses produksinya. Namun, tak bisa dimungkiri, film itu sukses secara komersial. 

Menemukan kecocokan, Garland dan Boyle pun menggarap beberapa proyek bareng. Sebut saja 28 Days Later (2002) dan Sunshine (2007). Keduanya mengusung genre horor sains fiksi dan diproduksi DNA Films, sebuah rumah produksi independen Inggris yang beberapa kali bekerja sama dengan FX dan Disney.

Kalau The Beach berkisah tentang penemuan pulau surgawi yang berujung petaka, 28 Days Later dimulai dulu dengan petaka atau bencana yang memusnahkan hampir seluruh peradaban manusia. Berbeda, tapi ceritanya begitu disukai.

Baca Juga: 7 Film Indie Korea Bergenre Coming-of-Age, Ada yang Kritik Patriarki

2. Spesialis film horor sains fiksi independen

Alex Garland dan Idealismenya Bikin Film Indie Bergenre Sains-FiksiEx Machina (Dok. A24/Ex Machina)

DNA Films menjadi rumah produksi karya-karya Garland berikutnya, seperti Never Let Me Go (2010), Ex Machina (2014), Annihilation (2018), dan yang terbaru Men (2022). Dari empat judul tadi, hanya Never Let Me Go yang bukan ide aslinya. Film itu diadaptasi jadi skenario dari novel Kazuo Ishiguro berjudul sama. 

Setelah beberapa kali jadi penulis naskah, Garland akhirnya terjun langsung jadi sutradara di Ex Machina. Film debutnya tidak mengecewakan. Ex Machina dianggap terobosan baru karena berhasil memadukan cyberpunk dan psychological thriller.

A24 ikut tertarik menjadi distributor resminya kala itu. Ia kemudian merilis Annihilation, film keduanya sebagai sutradara pada 2018 yang diproduksinya bersama Paramount Pictures dan Skydance. Meski dapat ulasan beragam karena ambisi ceritanya, momen itu mengonfirmasi spesialisasi Garland sebagai pegiat film sains-fiksi indie dengan naskah cerdas.

Kerja samanya dengan rumah produksi besar baru terjadi lagi pada 2020 seiring dengan perilisan miniseri Devs. Kala itu, Garland bekerja sama dengan FX Networks yang meski tergolong perusahaan besar, sering mengangkat cerita-cerita antimainstream. Pada 2022,  A24 kembali tertarik menjadi distributor untuk film horornya yang bertajuk Men. 

Sama dengan Annihilation, film terbarunya juga berlatarkan kegelapan area terpencil dan mengadopsi beberapa karakter mistis. Men juga dapat penerimaan beragam, tetapi dianggap banyak pihak sebagai salah satu karya terburuknya sejauh ini. 

3. Alex Garland bertahan karena berhasil menemukan niche-nya

Alex Garland dan Idealismenya Bikin Film Indie Bergenre Sains-FiksiMen (dok. DNA Films/Men)

Meski kebanyakan karyanya tak dapat dapat anggukan kompak dari para penikmat film, Alex Garland tetap dapat gelar sutradara paling inovatif dan idealis saat ini. Ia seolah jadi bukti bagaimana idealisme ternyata bisa saja dipertahankan dalam industri film. Ini yang sedang terjadi pada Ari Aster usai merilis Beau Is Afraid (2023).

Setelah dipuja karena dua filmnya Hereditary (2018) dan Midsommar (2019), untuk pertama kalinya Aster dapat kritik pedas. Beau Is Afraid senasib dengan Annihilation dapat pendapat yang tidak seragam dari penonton. Meski begitu, karya-karya Garland dan Aster seolah selalu dinanti. Mungkin karena keduanya sudah berhasil menemukan niche mereka di pasaran. 

Bagaimana menurutmu? Apakah kamu salah satu penikmat film-film Alex Garland? Atau justru pilih skip saja filmnya? 

Baca Juga: 10 Film Terbaik Ridley Scott, Sutradara Film Biopik Napoleon

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya