[REVIEW] Lunana: A Yak in the Classroom, Nomine Oscar dari Bhutan

Balada guru yang berdinas di desa terpencil

Pada gelaran Academy Awards ke-94 alias edisi 2022, ada satu nomine menarik di kategori Film Fitur Internasional Terbaik. Bersaing dengan judul-judul bervisibilitas tinggi macam Drive My Car (2021) dan The Worst Person in the World (2021) pantas bila Lunana: A Yak in the Classroom (2019) terlewat dari radarmu. Film soal guru yang ditugaskan di desa terpencil tersebut kiranya tidak menawarkan premis sedahsyat pesaing-pesaingnya di kategori yang sama. 

Karya sinematik sutradara Bhutan Pawo Choyning Dorji ini bisa dikategorikan film untuk segala usia. Premis sederhana, lengkap dengan pesan moral dan adegan-adegan yang menghangatkan hati. Menarik bila akhirnya panitia Academy Awards menganugerahinya nominasi.

Seberapa superior perwakilan Bhutan itu hingga bisa mengalahkan ratusan judul yang diajukan negara lain? Simak review film Lunana: A Yak in the Classroom berikut. 

1. Premisnya sederhana, cenderung tertebak sejak awal

[REVIEW] Lunana: A Yak in the Classroom, Nomine Oscar dari BhutanLunana: A Yak in the Classroom (dok. Trigon Film/Lunana: A Yak in the Classroom)

Lunana: A Yak in the Classroom dibuat sutradara Dorji dengan gaya bersahaja. Premisnya sederhana tanpa plot twist dan kompleksitas tingkat tinggi. Ia terpusat pada sosok Ugyen (Sherab Dorji), guru muda yang kontrak pengabdian wajibnya tersisa satu tahun. Ia sudah muak dengan profesinya dan beraspirasi untuk merantau ke Australia dan mengejar mimpinya jadi musisi. 

Namun, ia bukan tipe pemuda yang enggan berkonflik. Guna menghindari masalah di kemudian hari sekaligus sambil menunggu visanya disetujui, ia pun memutuskan untuk menyelesaikan kontraknya itu. Masalahnya, ia ditugaskan berdinas di sebuah desa terpencil bernama Lunana di Distrik Gasa. Letaknya amat jauh, baru ia tahu saat datang bahwa butuh waktu mendaki berhari-hari untuk bisa mencapai desa tersebut. 

Baca Juga: [REVIEW] Close, Ketika Maskulinitas Toksik Menginterupsi Persahabatan

2. Film dengan character development ciamik

[REVIEW] Lunana: A Yak in the Classroom, Nomine Oscar dari BhutanLunana: A Yak in the Classroom (dok. Trigon Film/Lunana: A Yak in the Classroom)

Hal paling mengagetkan bagi Ugyen justru bukan gaya hidup warganya yang masih tradisional, tetapi yang justru penghormatan besar yang diberikan warganya bagi sang lakon. Sepertinya sama seperti di berbagai negara di dunia, guru bukan profesi yang dianggap bergengsi bila dibanding dokter, pengacara, dan pegawai korporat.

Sebelum sampai Lunana, Ugyen sudah disambut bak pahlawan. Ia dijemput saat baru turun dari bus, dibawakan tasnya dan dipandu untuk mendaki, dijamu makan dan minum bak tamu negara, dan kedatangannya disambut riang seluruh penduduk desa.

Ugyen digambarkan sebagai sosok yang egois dan menyebalkan di awal film. Ia kesal dengan hidupnya di Bhutan dan mendambakan kemegahan, idealisme, serta gaya hidup ala Barat. Namun, setelah beberapa waktu di Lunana, karakternya berubah drastis. Ugyen menemukan bahwa saat menjadi guru pun, ia bisa memanfaatkan bakat dan hobinya menyanyi dan bermain gitar. Character development yang ciamik jadi salah satu kekuatan film ini. 

3. Film yang ajak kita memikirkan ulang esensi pekerjaan impian

[REVIEW] Lunana: A Yak in the Classroom, Nomine Oscar dari BhutanLunana: A Yak in the Classroom (dok. Trigon Film/Lunana: A Yak in the Classroom)

Detail kecil, seperti lanskap alam dan filosofi kehidupan yang menyertainya, jadi elemen lain yang mewarnai film ini. Balada Ugyen secara tidak langsung mengajak kita memikirkan ulang esensi pekerjaan impian. Seperti argumen penulis buku dan ilmuwan perilaku Jon Levy dalam artikelnya untuk Entrepreneur, pekerjaan impian hanya mitos belaka.

Justru yang membuat orang bahagia adalah interaksi sosial yang dilakukannya saat bekerja. Selama kualitasnya bagus dan tidak toksik, bukan tidak mungkin lingkungan kerja atau situasi sosial yang terjadi saat bekerja berperan dalam menambah kebahagiaan seseorang.  Hal ini terlihat dari balada guru muda Ugyen di Lunana. Dikelilingi anak-anak yang antusias belajar dan penduduk desa yang menghargai keberadaannya, Ugyen bisa dibilang menemukan zen (ketenangan ideal) dalam hidupnya.

Levy menambahkan bahwa untuk bisa menemukan pekerjaan ideal, seseorang harus mencoba mengambil pengalaman yang bervariasi. Persis seperti yang akhirnya dilakukan Ugyen pada adegan penutup Lunana: A Yak in the Classroom. Kita butuh mengalami banyak hal yang berbeda untuk tahu mana pilihan yang terbaik. Akankah Uygen kembali ke Lunana atau tetap menetap di luar negeri? Ini keputusan yang tidak dijawab Dorji dalam film nomine Oscar-nya. 

Sedang tayang di salah satu layanan OTT lokal, mungkin ini saatnya kamu membuktikan superioritas film asal Bhutan itu. Lunana: A Yak in the Classroom layak menyita waktu berhargamu. Ini tipe film yang bikin siapapun terenyuh setelah nonton.

Baca Juga: [REVIEW] La Haine, Film Klasik Prancis yang Kritik Kebrutalan Polisi

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya