6 Film 2025 yang Mungkin Kamu Lewatkan, padahal Bagus

- Magellan: Film epik Lav Diaz tentang kebrutalan kolonialisme, menuntut kesabaran dan menyiksa namun penuh kekuatan.
- The Surfer: Thriller psikologis dengan Nicolas Cage membahas krisis maskulinitas dan kebutuhan manusia untuk merasa berkuasa.
- A Little Prayer: Film tenang yang menggali konflik keluarga dengan cara yang sangat manusiawi dan relevan.
Tahun 2025 dipenuhi film-film besar dengan promosi masif dan jajaran bintang ternama. Namun, di balik hiruk-pikuk blockbuster dan film franchise, ada deretan film luar biasa yang justru luput dari perhatian publik. Padahal, film-film ini menawarkan pengalaman menonton yang lebih berani, jujur, dan emosional dibanding tontonan arus utama.
Mulai dari kritik kolonialisme yang menyakitkan, drama keluarga yang hening tapi menghantam, hingga thriller psikologis yang relevan dengan budaya media sosial, enam film berikut membuktikan bahwa kualitas tak selalu datang dari popularitas. Jika kamu mencari film 2025 yang benar-benar membekas, daftar ini layak masuk watchlist kamu.
1. Magellan

Lav Diaz kembali dengan film epik yang jauh dari kata nyaman. Magellan mengangkat kisah penjelajah Portugis Ferdinand Magellan (Gael García Bernal) Ia bukan sebagai pahlawan petualang, melainkan simbol kebrutalan kolonialisme. Film ini mengikuti perjalanan para penjajah yang perlahan tenggelam dalam penderitaan dan kegilaan saat mencoba menaklukkan Asia Tenggara.
Alih-alih aksi heroik, Magellan hadir sebagai slow cinema yang menuntut kesabaran. Ritmenya lambat, sunyi, dan sering kali menyiksa, tetapi justru di situlah kekuatannya. Keindahan alam dan ritual lokal ditampilkan beriringan dengan kekerasan dan keserakahan, membuat film ini terasa seperti tamparan keras terhadap narasi sejarah yang selama ini dimuliakan.
2. The Surfer

Sekilas, The Surfer tampak seperti film Nicolas Cage yang lain alias aneh, intens, dan berpotensi berantakan. Namun di tangan Lorcan Finnegan, film ini berubah menjadi thriller psikologis yang penuh tekanan. Cage berperan sebagai ayah yang rapuh, terjebak konflik absurd dengan sekelompok peselancar agresif yang merasa pantai adalah wilayah kekuasaan mereka.
Film ini bukan sekadar adu emosi dan teriakan. Di balik kegilaannya, The Surfer membahas krisis maskulinitas, rasa gagal sebagai orangtua, dan kebutuhan manusia untuk merasa berkuasa. Ditambah penampilan mencekam mendiang Julian McMahon, film ini berhasil menyeimbangkan kegilaan Cage dengan kedalaman emosi yang mengejutkan.
3. A Little Prayer

A Little Prayer adalah contoh sempurna film yang tenang, tapi menghantam perasaan. Ceritanya sederhana, yakni mengikuti seorang ayah menyadari anak laki-lakinya mungkin mengkhianati pernikahannya. Namun cara film ini menggali konflik tersebut jauh dari melodrama murahan.
David Strathairn tampil luar biasa sebagai patriark keluarga yang penuh empati, terjebak antara kejujuran dan keinginan menjaga keharmonisan. Sutradara Angus MacLachlan memilih keheningan, tatapan, dan momen reflektif sebagai senjata utama, menjadikan film ini terasa sangat manusiawi dan relevan bagi siapa pun yang pernah berada di tengah konflik keluarga.
4. The History of Sound

Berlatar pasca Perang Dunia I, The History of Sound mengisahkan dua pria muda dari Boston Conservatory yang berkeliling mengumpulkan musik rakyat. Dibintangi Josh O’Connor dan Paul Mescal, film ini menyajikan kisah cinta queer yang lembut, jujur, dan tanpa sensasionalisme.
Meski dibalut romansa klasik, film ini juga menjadi potret dunia yang sedang berubah. Dunia baru saja melihat kehancuran global dan mulai mencari makna melalui seni dan koneksi manusia. Hubungan kedua tokohnya terasa tulus dan menghangatkan, menjadikan film ini menyedihkan sekaligus memberi harapan.
5. Eleanor the Great

Debut penyutradaraan Scarlett Johansson ini datang dengan kejutan besar. Eleanor the Great menempatkan June Squibb sebagai tokoh utama. Perempuan lansia yang kembali ke New York dan membangun hubungan tak terduga dengan seorang pembawa berita duka dan putrinya.
Awalnya terasa ringan dan hangat, film ini perlahan berkembang menjadi refleksi tentang empati, niat baik, dan batasan moral. Johansson menunjukkan kedewasaan dalam menyutradarai cerita yang sensitif, memberi ruang bagi karakter untuk bernapas, berpikir, dan berkembang secara alami tanpa menggurui penonton.
6. Lurker

Menggambarkan media sosial dengan realistis bukan hal mudah, tapi Lurker berhasil melakukannya. Film ini menyoroti bahaya hubungan parasosial melalui kisah seorang pekerja toko pendiam yang terobsesi dengan bintang pop muda idolanya.
Dengan pendekatan psikologis yang dingin dan jujur, Lurker memperlihatkan bagaimana rasa memiliki semu bisa berubah menjadi ancaman. Menariknya, film ini tidak sepenuhnya menyalahkan satu pihak. Baik penggemar maupun sang selebritas digambarkan sebagai manusia muda yang sama-sama tersesat dalam sistem yang mendorong obsesi dan validasi digital.
Enam film 2025 ini mungkin tidak ramai dibicarakan, tapi justru itulah yang membuatnya istimewa. Jadi, dari keenam judul di atas, film mana yang paling membuatmu penasaran untuk ditonton lebih dulu?


















