Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Film Klasik Era 60-an yang Terlalu Bagus untuk Diabaikan

film Our Mother’s House (dok. MGM/Our Mother’s House)
Intinya sih...
  • The Family Way (1966)Film sederhana tentang pasangan pengantin baru dengan kejutan emosional dan pesan sosial yang relevan hingga kini. Musik dari Paul McCartney menambah kedalaman emosi film ini.
  • Mademoiselle (1966)Kisah karakter Mademoiselle yang gelap, penuh intrik dan hasrat, serta menyentil isu xenofobia dan konflik kelas. Film jarang disebut dalam diskusi film klasik Eropa.
  • Privilege (1967)Dengan nada satir tajam, film ini mengangkat isu eksploitasi selebritas dan propaganda politik. Sayangnya sempat ditarik dari bioskop karena kontroversinya.

Era 1960-an dikenal sebagai masa keemasan bagi dunia perfilman, dengan banyak karya ikonik yang terus dibicarakan hingga hari ini. Namun, di balik sorotan terhadap film-film besar, seperti Psycho, The Sound of Music, atau 2001: A Space Odyssey, ada sejumlah judul yang tak kalah kuat secara artistik dan emosional, tapi luput dari perhatian banyak orang.

Film-film ini mungkin tidak selalu hadir dalam daftar wajib tonton, tapi masing-masing menyimpan kekuatan sinematik yang menggugah. Mulai dari kritik sosial yang tajam hingga atmosfer yang sulit dilupakan, berikut ini rekomendasi film klasik era 60-an yang sayang banget jika dilewatkan.

1. The Family Way (1966)

film The Family Way (dok. Warner Bros/The Family Way)

Film ini tampak sederhana, yaitu tentang sepasang pengantin baru yang harus tinggal di rumah keluarga si suami dan mengalami masalah dalam hubungan mereka. Namun, The Family Way menyimpan kejutan emosional yang sangat menyentuh, terutama berkat akting luar biasa dari John Mills sebagai ayah yang mulai mempertanyakan pernikahan dan perannya dalam keluarga.

Hayley Mills, anak John Mills, juga tampil sebagai menantu dalam cerita ini, menambah lapisan personal dalam drama keluarga tersebut. Meski premisnya tampak sepele, film ini perlahan-lahan menjelma menjadi refleksi tajam tentang tekanan sosial, kelas, dan ekspektasi gender dalam masyarakat Inggris tahun 60-an.

Diiringi musik dari Paul McCartney yang jarang dibicarakan bahkan oleh penggemar The Beatles, film ini seharusnya lebih dikenal karena kedalaman emosinya dan pesan sosial yang relevan hingga kini.

2. Mademoiselle (1966)

film Mademoiselle (dok. United Artists/Mademoiselle)

Mademoiselle mengikuti karakter Mademoiselle (Jeanne Moreau), perempuan yang tampak kalem, tapi ternyata menyimpan sisi gelap. Dia secara perlahan menabur kekacauan di desa tempat tinggalnya, karena dipicu oleh obsesi terhadap seorang pekerja asing. Tanpa rasa bersalah, ia membakar hutan, meracuni binatang, dan memanipulasi opini warga, semua karena dorongan nafsu dan kekuasaan.

Selain menjadi kisah penuh intrik dan hasrat yang membakar, Mademoiselle juga menyentil isu xenofobia dan konflik kelas. Film ini menggambarkan bagaimana masyarakat bisa cepat menghakimi orang luar dan menyalahkan mereka atas segala kekacauan. Meski atmosfernya tegang dan akting Moreau sangat kuat, sayangnya film ini jarang disebut dalam diskusi film klasik Eropa.

3. Privilege (1967)

film Privilege (dok. World Film Productions/Privilege)

Dengan nada satir tajam, Privilege mengangkat kisah seorang bintang pop bernama Steven Shorter yang digunakan pemerintah Inggris sebagai alat propaganda untuk mengendalikan rakyat. Di balik ketenarannya, Steven merasa dikurung dan kehilangan identitas, sampai akhirnya bertemu dengan Vanessa, seorang pelukis yang membantunya melihat sisi lain dari kehidupannya.

Film ini terasa sangat relevan di era sekarang, di mana figur publik sering dijadikan alat politik atau simbol massal. Penggunaan elemen propaganda, eksploitasi selebritas, dan simbolisme ala Nazi membuat film ini terkesan berani dan mendobrak batas norma saat itu. Sayangnya, karena kontroversinya, Privilege sempat ditarik dari bioskop.

4. Our Mother’s House (1967)

film Our Mother’s House (dok. MGM/Our Mother’s House)

Bayangkan 7 anak yang menutupi kematian ibu mereka agar bisa terus hidup sendiri di rumah mereka, itulah premis suram Our Mother’s House. Anak-anak ini mencoba membangun dunia kecil mereka sendiri, tetapi semuanya berubah saat sang ayah yang selama ini menghilang tiba-tiba kembali. Ketegangan perlahan meningkat mengarah ke akhir yang mengejutkan.

Film ini mengupas sisi gelap dari kehidupan keluarga dan masa kecil yang retak. Disutradarai oleh Jack Clayton, film ini menunjukkan bagaimana anak-anak bisa terdorong pada tindakan ekstrem demi mempertahankan dunia yang mereka anggap aman. Dibintangi Dirk Bogarde dan aktor cilik Mark Lester, film ini penuh atmosfer tegang yang menyesakkan.

5. Black Girl (1966)

film Black Girl (dok. Filmi Domirev/Black Girl)

Meski hanya berdurasi sekitar 1 jam, Black Girl menyampaikan pesan yang sangat kuat. Film ini mengikuti Diouana, seorang perempuan Senegal yang bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Prancis kaya. Ia awalnya berharap mendapatkan kehidupan lebih baik di Prancis, tapi justru mengalami perlakuan tidak manusiawi dan diskriminasi yang melelahkan secara fisik dan mental.

Sembène menampilkan kenyataan pahit tentang dampak kolonialisme yang terus menghantui masyarakat modern. Lewat kisah Diouana yang penuh kesedihan dan keterasingan, penonton diajak untuk melihat sisi kelam dari relasi kolonial yang masih membekas. Black Girl bukan sekadar film, tapi juga tentang rasisme struktural yang sering disamarkan sebagai perbedaan budaya.

Di tengah lautan film klasik yang populer, lima judul film ini membuktikan bahwa kisah-kisah yang kuat tidak selalu datang dari film yang sering dibicarakan. Kira-kira, film klasik era 60-an mana yang selama ini luput dari perhatianmu, padahal pantas mendapat tempat di daftar tontonan terbaik sepanjang masa?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us