Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Green Day, Musik Punk, dan Aktivisme Politik

Green Day saat konser di Osaka, Jepang pada Februari 2025. (instagram.com/greenday)
Green Day saat konser di Osaka, Jepang pada Februari 2025. (instagram.com/greenday)
Intinya sih...
  • Green Day jadi perbincangan hangat setelah tampil di Coachella 2025 dan Charli XCX mengenakan sash "Miss Should be the Headliner" yang dianggap arogan.
  • Green Day memodifikasi lirik lagu "Jesus of Suburbia" dengan kalimat yang menyenggol isu genosida di Palestina, membagi audiens jadi pro dan kontra.
  • Sejak kemunculan perdananya, Green Day sering mengkritik pemerintah dan menantang status quo, serta merilis lagu-lagu beraliran kiri seperti antifasisme.

Green Day jadi perbincangan hangat seiring penampilan mereka sebagai salah satu headliners (penampil utama) di festival musik Coachella 2025 pada Sabtu malam (13/4/2025) lalu. Pertama, Green Day ikut disebut terkait keputusan Charli XCX mengenakan sash bertuliskan "Miss Should be the Headliner". Kesengajaan Charli XCX dianggap arogan dan tidak dewasa karena terkesan tak menghargai Green Day sebagai musisi yang lebih senior. 

Kedua, karena keputusan mereka mengganti salah satu bait dalam lirik lagu "Jesus of Suburbia" dengan kalimat,“Runnin’ away from pain, like the kids from Palestine." Itu adalah modifikasi dari lirik orisinalnya yang berbunyi, “Runnin’ away from pain when you’ve been victimized.”

Keputusan mereka menyenggol isu genosida di Palestina membagi audiens jadi dua kubu, pro dan kontra. Namun, sebenarnya buat penggemar setia Green Day, kebiasaan mereka menyelipkan pesan politik bukan sesuatu yang mengejutkan. Mengapa? Mari bahas lebih jauh soal Green Day, musik punk, dan aktivisme politik mereka. 

1. Musik punk dan politik sayap kiri

Green Day saat menggelar konser di Melbourne, Australia, pada Maret 2025. (instagram.com/greenday)
Green Day saat menggelar konser di Melbourne, Australia, pada Maret 2025. (instagram.com/greenday)

Bila kamu perhatikan, sejak kemunculan perdananya, Green Day memang sering mengkritik pemerintah dan menantang status quo. Itu adalah dua hal yang cukup umum ditemukan pada musisi-musisi yang mengusung genre punk. Merujuk tulisan Matthew Worley berjudul 'Shot By Both Sides: Punk, Politics and the End of ‘Consensus’ dalam jurnal Contemporary British History, gerakan punk pertama kali terdeteksi di Inggris pada 1977 ketika band Sex Pistols muncul ke permukaan. 

Saat itu, ide-ide nonkonformis Sex Pistols menarik komunitas sayap kiri Young Communist League (YCL) menulis surat terbuka pada mereka. Pada periode itu pula, karena kemiripan ide, band-band punk Inggris kerap berkolaborasi dengan kelompok-kelompok nirlaba beraliran kiri.

Mereka tak segan tampil di konser-konser amal yang mengusung nilai antimiliter, feminisme, antirasisme, prokesejahteraan hewan dan lain sebagainya. Dengan cepat, mereka menarik simpati anak-anak muda yang mulai lelah dengan keterbatasan lapangan kerja dan konflik horizontal. 

2. Green Day dan sentimennya terhadap Partai Republik Amerika Serikat

Konser Green Day di Seattle, Amerika Serikat, September 2024. (instagram.com/greenday)
Konser Green Day di Seattle, Amerika Serikat, September 2024. (instagram.com/greenday)

Mengeklaim sebagai band punk, sebenarnya gak aneh ketika Green Day merilis lagu-lagu beraliran kiri seperti antifasisme. "American Idiot" adalah salah satu lagu politik terpopuler mereka yang sampai sekarang masih dipakai untuk mengekspresikan ketidaksetujuan ketiga personel Green Day terhadap kebijakan-kebijakan konservatif dan fasis Partai Republik. Lagu itu awalnya mereka rilis untuk mengkritik Perang Irak 2003 yang diinisiasi rezim George W. Bush. 

Lirik asli lagu itu berbunyi, “I’m not part of a redneck agenda”, tetapi belakangan mereka menggantinya jadi “MAGA agenda" yang merujuk pada jargon kampanye Partai Republik dan Donald Trump, "Make America Great Again." Saat tampil di Australia, mereka juga menyenggol wapres Amerika Serikat saat ini dalam lagu "Jesus of Suburbia" dengan lirik "Am I retarded, or am I just J.D. Vance?” Lirik aslinya sebenarnya berbunyi, “Am I retarded, or am I just overjoyed?”

3. Green Day dan Palestina

Lantas, bagaimana Palestina bisa jadi bagian dari aktivisme Green Day? Isu Palestina bukan konflik atau perang biasa. Seperti kita tahu, itu dimulai dari okupasi, dilanjut dengan politik apartheid, dan kini memburuk jadi genosida. Ketiga isu tadi erat kaitannya dengan kolonialisme dan itu berarti lagi-lagi beririsan dengan ide-ide politik sayap kiri. 

Tak heran, bila pada akhirnya Billy Joe Armstrong, dkk. memilih untuk berpihak pada Palestina. Tak hanya sekali, Green Day sudah pernah menyuarakan keresahannya soal Palestina sejak lama. Saat konser di Kuala Lumpur, Malaysia, Februari 2025 lalu, Armstrong menerima bendera Palestina yang dibawa salah satu peserta konser dan mengenakannya di pundaknya sepanjang sisa konser. 

Dalam salah satu video konser mereka di Meksiko, November 2024, Armstrong terdengar mengganti lirik “From Anaheim to the Middle East" jadi “From Palestine to the Middle East" saat melantunkan "Jesus of Suburbia." Pada 2009, mereka menyebut Gaza dalam lirik lagu "Peacemaker" dari album 21st Century Breakdown saat tampil di klub The Independent, Berkeley, Amerika Serikat. Sebagai konteks, saat itu ribuan warga Palestina tewas setelah tentara Israel melanggar perjanjian gencatan senjata dengan Hamas yang disepakati 6 bulan sebelumnya pada 2008. 

Bukan yang pertama, tetapi nama besar Green Day adalah platform strategis untuk menyuarakan isu-isu kemanusiaan seperti ini. Popularitas mereka mungkin memudar seiring waktu dan bergantinya generasi, tetapi skena punk belum kehilangan idealismenya. Masih ada band punk generasi baru seperti Fontaines D.C. dan IDLES  yang secara terbuka menganut nilai dan stance politik mirip Green Day. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us