Heretic, ketika Religi di Film Horor Bukan Sekadar Tempelan

Film-film horor dari A24 selalu menjadi sorotan berkat kemampuannya menghadirkan pengalaman sinematik yang tak hanya menyeramkan, tetapi juga mendalam secara emosional dan tematik. Dari Hereditary (2018) hingga Midsommar (2019), A24 sukses menciptakan horor yang unik dan berkesan. Salah satu karya terbarunya, Heretic, kini tengah tayang di bioskop Indonesia sejak Rabu (20/11/2024), menambah daftar film horor mereka yang selalu dinanti.
Heretic merupakan karya duo sutradara Scott Beck dan Bryan Woods, yang dikenal lewat naskah A Quiet Place (2018). Mengusung konsep unik berupa horor berbasis dialog, religi, dan psikologi, film ini bercerita tentang dua suster yang terjebak dalam situasi mengerikan bersama seorang pria misterius. Perpaduan cerita cerdas dan intensitas yang tinggi membuat Heretic mendapat sambutan positif dari kritikus, sekaligus menjadi salah satu film terbaik A24 tahun ini.
Jika kamu penasaran dengan detail cerita dan ulasan lengkapnya, langsung saja simak review film Heretic di bawah ini. Apakah film ini berhasil menyeimbangkan horor dengan pesan moral? Yuk, kita ulas bersama!
1. Premis sederhana yang dibalut dialog kompleks

Apa itu horor religi? Apakah film yang menggunakan elemen-elemen keagamaan untuk menghantarkan teror? Ataukah film yang menggali ketakutan mendasar tentang iman dan keyakinan? Heretic menjawab pertanyaan ini dengan menggabungkan kedua elemen tersebut dalam sebuah narasi yang menegangkan. Padahal, premisnya sendiri sangat sederhana.
Dua misionaris Mormon, Suster Barnes (Sophie Thatcher) dan Suster Paxton (Chloe East), mendatangi rumah seorang pria Inggris, Mr. Reed (Hugh Grant), untuk mengajaknya masuk ke agama mereka. Namun, sesampainya di sana, mereka malah dikurung dan dipaksa mengikuti “permainan” yang telah dirancang oleh sang tuan rumah.
Sekilas, premis ini terdengar seperti kebalikan Knock, Knock (2015) dan versi minimalis dari Ready or Not (2019). Namun, film ini langsung menunjukkan identitas aslinya ketika salah satu karakternya mengajukan pertanyaan yang mengejutkan, “What is the one true religion?”
Yap, bukan permainan biasa. Dalam 111 menit durasinya, Heretic menghadirkan pertunjukan debat agama yang bakal membuatmu terpaku di kursi. Naskah garapan Beck dan Woods harus diakui mengandung unsur-unsur yang sangat sensitif bagi berbagai kalangan. Karena itu, selain menyiapkan mental, kamu juga disarankan untuk berpikiran terbuka sebelum menyaksikan Heretic.
2. Sayangnya, Heretic masih terjebak adegan "berdarah" yang generik

Sejarah sejumlah agama, kehidupan setelah kematian, dan kehendak bebas adalah beberapa tema yang dituangkan dalam dialog yang ditulis dengan cermat oleh kedua sineasnya. Sebagai fondasi, dialog-dialog tajam tersebut tentu berhasil menjadikan Heretic sebagai horor berbasis dialogue-driven yang sempurna. Namun, kesempurnaan itu harus tercoreng oleh apa yang ditampilkan Beck dan Woods di paruh keduanya.
Berlawanan dengan apa yang ditampilkan di paruh pertamanya, Heretic tampil bak film slasher yang serba tanggung ketika mencapai pertengahan durasi. Hal ini cukup disayangkan mengingat rating R yang disematkan pada film ini dan kegilaan yang dibangun sejak awal. Menurut penulis, Heretic akan lebih konsisten jika menampilkan adegan torture yang ekstrem atau tidak menampilkan kesadisan sama sekali.
Untungnya, kecanggungan di paruh kedua berhasil ditutupi oleh elemen misteri yang kuat. Penonton diajak sejenak menjadi detektif sembari mempertanyakan mana yang benar dan mana yang cuma kebohongan yang diciptakan oleh salah satu karakternya. Elemen misteri ini jugalah yang berjasa dalam menjaga ketegangan hingga film berakhir.
3. Penampilan para aktor, khususnya Hugh Grant, mampu tutupi semua kekurangan

Sementara misterinya mampu mengembalikan atensi penonton pada cerita, ketiga aktornya, Hugh Grant, Sophie Thatcher, dan Chloe East, justru mengemban tugas yang jauh lebih berat sedari awal: bagaimana membuat karakter mereka, yang pada dasarnya minim latar belakang, mampu mengikat penonton. Untungnya, Beck dan Woods memilih jajaran aktor yang tepat untuk proyek ini.
Sophie Thatcher dan Chloe East enggan menampilkan sosok korban yang stereotip. Di saat Thatcher, sebagai Suster Barnes, tampak kokoh dan berprinsip, East menyuguhkan penampilan yang lebih berwarna sebagai Suster Paxton. Aktingnya memang terlihat polos, tapi menyimpan kecerdasan yang menarik untuk melengkapi elemen misteri pada paruh keduanya.
Namun, bintang sesungguhnya dari Heretic adalah Hugh Grant. Aktor senior yang telah malang melintang selama lebih dari 4 dekade ini berakting bak bunglon. Dari topeng ramah dan sopan, Grant mampu berpindah ke topeng menakutkan dan mengancam hanya dalam hitungan detik. Aktingnya sebagai Mr. Reed bisa dibilang adalah salah satu peran terbaik—dan mungkin juga yang paling kontroversial—dalam sejarah kariernya.
4. Pesan yang tersirat dalam Heretic, perjalanan ke neraka?

Pulang dengan tangan hampa setelah menyaksikan film-film horor garapan A24 adalah hal yang mustahil. Sebagaimana karya-karya studio independen ini sebelumnya, Heretic juga bakal membuatmu merenung, bahkan setelah credit title bergulir. Atau, bisa jadi malah semakin membuatmu bertanya-tanya, apa makna tersembunyi yang ingin disampaikan oleh duo sineasnya di sini?
Jika penulis boleh menerjemahkan, kisah Suster Barnes dan Suster Paxton yang masuk ke sebuah rumah yang tampak aman namun berakhir tragis, sejatinya bagaikan interpretasi Inferno karya Dante Alighieri. Setiap bagian dari rumah Mr. Reed, dari beranda sampai ruang bawah tanah, seolah menjadi penggambaran 9 lingkaran neraka yang muncul di puisi legendaris karya Dante tersebut. Hal ini diperkuat dengan penampakan diagram "Paradiso and Inferno" yang tergantung di dinding rumah Mr. Reed.
Benar atau tidaknya, Heretic adalah jenis tontonan yang bebas diinterpretasikan oleh siapa pun yang menontonnya. Hal ini sejalan dengan kata-kata yang disampaikan oleh Suster Barnes dalam film ini. Kata-kata tersebut kurang lebih berbunyi, "Humans cannot be divided into what they believe and what they don't believe, there is a wider spectrum than that."
Heretic berhasil menunjukkan bahwa horor bisa menjadi medium eksplorasi ide-ide besar, seperti iman, moralitas, dan kemanusiaan. Meski menyisakan kekurangan, film ini tetap menawarkan pengalaman sinematik yang memikat dengan dialog tajam dan akting cemerlang Hugh Grant. Jika kamu ingin menikmati horor yang memancing pikiran sekaligus emosi, Heretic adalah pilihan yang tak boleh dilewatkan!