Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa My Chemical Romance Masih Jadi Band Favorit Para Milenial?

Gerard Way, vokalis My Chemical Romance (instagram.com/mychemicalromance)

Baru saja mengumumkan jadwal tur Asia Tenggara mereka untuk tahun 2026, My Chemical Romance (MCR) disambut antusias penggemar setianya. Menarik nih mengingat mereka bukan tipe band yang konsisten memproduksi album layaknya Paramore, Green Day, dan Fall Out Boy. Diskografi mereka berhenti sampai 4 album studio dan 3 album kompilasi saja seiring dengan pengumuman bubar mereka pada 2013.

Lantas, bagaimana mereka bisa abadi di benak milenial (generasi kelahiran tahun 1980-1996) yang beranjak dewasa pada 2000-an? Apa faktor yang bikin My Chemical Romance susah dilupakan penggemarnya?

1. My Chemical Romance adalah salah satu pelopor subkultur emo paling ikonik

My Chemical Romance saat konser reuni 2022 (instagram.com/mychemicalromance)

Sejak kemunculan perdananya pada 2002, MCR mengadopsi dan mempromosikan subkultur da genre emo. Menurut EBSCO, emo adalah singkatan untuk “emotional music” yang sebenarnya terinspirasi dari musik punk yang lebih dulu muncul sekitar 1970-1980-an. Seperti musik akarnya, emo dan punk sama-sama berisi keresahan. Bedanya, punk lebih condong membahas keresahan sosial-politik-ekonomi, emo berat ke keresahan-keresahan personal seperti kesepian, patah hati, dan isolasi.

MCR bersama beberapa band lain pada masa itu seperti Secondhand Serenade, Dashboard Confessional, Fall Out Boy, Paramore, Panic! At The Disco, dan All Time Low pun mendulang sukses. Basis penggemar mereka di Asia, termasuk Indonesia cukup besar. Lagu-lagu emo bersama lagu pop pun mewarnai radio dan tangga lagu global. Emo bahkan merasuk ke ranah fesyen, gaya pakaian ala band emo ditiru anak-anak muda. Kaus hitam, skinny jeans, sepatu platform, poni panjang dengan belahan samping serta riasan wajah gelap jadi hal yang umum ditemukan kala itu.

MCR adalah salah satu yang estetika emonya paling kuat dibanding beberapa band segenre pada era itu. Apalagi saat mereka merilis album The Black Parade pada 2006, kostum yang mereka pakai untuk sampul album dan video klip bisa dikategorikan ikonik. Sampai sekarang, kita masih bisa mengingatnya dengan jelas saking unik, beda, dan segarnya.

2. Berhasil mengisi celah pasar

MCR sebenarnya punya banyak pesaing. Paramore dan Fall Out Boy misalnya yang sampai sekarang masih eksis dan terus memproduksi lagu baru. Begitu pula dengan Panic! At The Disco yang mengusung gaya teatrikal layaknya Gerard Way, dkk. Namun, mengapa lagu MCR begitu membekas? Bisa dibilang My Chemical Romance unggul karena bisa menangkap celah pasar kala itu. Ketika banyak band emo seperti Fall Out Boy, Boys Like Girls, Secondhand Serenade, All Time Low, dan Panic! At The Disco bikin lagu galau bertema cinta, MCR memilih untuk menulis lagu tentang kesehatan mental.

Pesaing mereka di ranah ini adalah Paramore yang juga konsisten mengusung tema-tema kesehatan mental dan coming-of-age. Bukan berarti mereka gak punya lagu cinta, beberapa lagu hits MCR seperti “I Don’t Love You” dan “Cemetery Drive” adalah contohnya. Namun, sadarkah kamu kalau lagu “Helena” dan “The Ghost of You” meski terdengar romantis sebenarnya liriknya bercerita tentang duka cita secara umum? Sementara, lagu-lagu lain ("Disenchanted", ”I’m Not Okay”, “Welcome to the Black Parade”, Teenagers”, “Cancer”, “Famous Last Words”) kebanyakan seperti sebuah deskripsi dan validasi akan perasaan depresi, frustrasi dan teralienasi. Remaja mana yang tak meleleh ketika keresahan-keresahan mereka divalidasi? Tak pelak, MCR pun jadi semacam penyelamat hidup banyak remaja pada era itu.

Celah lain yang mereka isi adalah tipe musik. Tak secadas itu untuk disebut grup metal, tetapi terlalu garang untuk dikategorikan pop adalah deskripsi yang cocok buat My Chemical Romance. Ini yang membedakan mereka dengan Linkin Park (nu-metal) yang juga sering mengusung tema kesehatan mental dalam lagunya. Mereka juga terdengar beda dengan Paramore yang sering menyertakan elemen pop dalam musik mereka.

3. Keautentikan adalah komoditas

Gerard Way saat konser reuni My Chemical Romance pada 2022 (instagram.com/mychemicalromance)

Popularitas My Chemical Romance yang tak tergerus zaman sepertinya bertumpu pada konsistensi mereka untuk mempertahankan keautentikan alias konsep awal mereka. Gerard Way, dkk. tak banyak melakukan evolusi seperti yang dilakukan beberapa band lain. Ini yang sepertinya membuat fans setia mereka bertahan.

Evolusi dalam bermusik sebenarnya hal yang wajar, tetapi biasanya memicu pro dan kontra. Berkaca dari kasus Linkin Park dan Paramore saja, deh. Ketika mereka melakukan pergeseran genre pada 2017 lewat album One More Light dan After Laughter, gak sedikit yang kecewa. Entah memang menghindari risiko itu, ketika para personel MCR sudah tak bisa membuat karya yang bernapaskan konsep awal, bubar pun jadi solusi. Keputusan itu tampaknya tepat. Para personel bisa bebas mengekspresikan jiwa seni mereka secara bebas tanpa mengubah MCR yang sudah dikenal dan dicintai penggemar.

Kini ketika mereka memutuskan reuni, MCR menjual nostalgia. Dikenal sebagai generasi paling nostalgic (alias perindu dan perasa) karena mengalami perubahan teknologi dan dinamika politik-ekonomi yang cukup beragam, milenial memang sasaran empuk My Chemical Romance untuk menghidupkan kembali masa kejayaan mereka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us