4 Novel Sastrawan Indonesia yang Masuk Koleksi UNESCO, Sudah Baca?

- UNESCO Collection of Representative Works proyek penerjemahan karya agung dari berbagai bahasa ke dalam bahasa internasional.
- Atheis, Perjalanan Penganten, Le Départ de l'enfant prodigue, dan Spasmes d'une révolution menjadi bagian koleksi prestisius ini.
- Masing-masing novel mengangkat tema kemanusiaan dan konflik batin yang universal, memperkuat posisi sastra Indonesia di ranah internasional.
UNESCO Collection of Representative Works merupakan proyek penerjemahan ambisius yang dimulai sejak tahun 1948 hingga 2005. Proyek ini diprakarsai dengan tujuan memperkecil jarak antarbudaya dengan menerjemahkan karya-karya agung dari berbagai bahasa ke dalam bahasa internasional. Dengan demikian, harapannya masyarakat global dapat lebih memahami serta mengapresiasi kekayaan sastra dari seluruh penjuru dunia.
Kehadiran karya sastra Indonesia dalam koleksi prestisius ini menjadi bukti bahwa narasi lokal kita mempunyai nilai artistik dan universal yang mampu bersaing secara global. Empat novel sastrawan Indonesia yang masuk koleksi UNESCO tidak hanya mencerminkan kearifan lokal, tetapi juga menyentuh tema-tema kemanusiaan yang bersifat lintas batas. Yuk, kenali karya-karyanya!
1. Atheis (1949) – Achdiat K. Mihardja

Roman yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R.J. Maguire dengan judul Atheis (1972) ini menceritakan tentang Hasan, seorang pemuda muslim yang mulai goyah imannya usai berinteraksi dengan teman-temannya yang Marxis dan nihilis. Lewat tiga sudut pandang, Atheis menghadirkan ketegangan antara keyakinan pribadi, norma sosial, dan gejolak zaman.
Meskipun sempat menimbulkan kontroversi, novel ini tetap dikenang sebagai salah satu tonggak penting dalam sastra modern Indonesia. Sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, karya ini lebih dulu hadir dalam versi Melayu dan pernah diangkat ke layar lebar pada 1974. Pengakuan UNESCO atas terjemahannya memperkuat posisi karya ini di ranah sastra internasional.
2. Perjalanan Penganten (1958) – Ajip Rosidi

Dalam versi bahasa Prancis, Perjalanan Penganten (1958) diterjemahkan oleh Henri Chambert-Loir menjadi Voyage de noces (1975). Pembaca diajak mengikuti kisah Rudi dan Siti, pasangan muda yang menghadapi berbagai dinamika rumah tangga, mulai dari konflik perasaan hingga pertentangan nilai dalam menjalani pernikahan.
Gaya narasi Ajip Rosidi yang puitis dan reflektif membuat kisah ini terasa intim sekaligus universal. Meski berpijak pada budaya lokal, konflik dan emosi yang diangkat tetap mampu menjalin koneksi emosional dengan pembaca dari latar belakang apa pun.
3. Hilanglah si Anak Hilang (1963) – Nasjah Djamin

Farida Soemargono menerjemahkan novel ini ke dalam bahasa Prancis dengan judul Le Départ de l'enfant prodigue (1976). Bertutur perihal perjalanan Kuning, seorang pelukis yang merasa terasing dari lingkungan dan keluarganya. Kemudian berusaha menemukan makna hidup di tengah tekanan sosial dan pilihan moral yang rumit.
Hubungan Kuning dengan Marni, kekasihnya yang bekerja sebagai pelacur memperlihatkan bagaimana realitas sosial sering kali berbenturan dengan nilai-nilai moral yang dipaksakan. Dengan tema kebebasan dan pencarian identitas, novel ini tetap relevan dan beresonansi secara universal.
4. Royan Revolusi (1971) – Ramadhan K.H.

Diterjemahkan oleh Monique Zaini-Lajoubert ke dalam bahasa Prancis menjadi Spasmes d'une révolution (1977), novel ini berkisah mengenai Idrus, seorang mahasiswa pertanian yang ingin menjadi penulis. Namun, idealismenya mulai terkikis setelah melihat langsung praktik korupsi dan ketidakadilan pascarevolusi.
Ceritanya berlanjut pada kegagalan dan pengasingan yang membuatnya kembali ke kampung halaman, tempat ia mulai memaknai kembali arti perjuangan. Idrus bukan pahlawan revolusi, melainkan sosok kontemplatif yang merefleksikan luka dan harapan masyarakat Indonesia pasca-gejolak politik.
Novel sastrawan Indonesia yang masuk koleksi UNESCO Collection of Representative Works menunjukkan kekuatan narasi serta daya jangkau global sastra Indonesia. Melalui kisah yang mengangkat nilai kemanusiaan dan konflik batin yang universal, deretan karya di atas menjadi bukti bahwasanya suara Nusantara pun layak peroleh tempat di panggung dunia.