Penjelasan Ending Frankenstein (2025) Menurut Guillermo del Toro

- Victor Frankenstein lebih kelam dari versi novelnya
- Penglihatan Victor tentang Malaikat Maut
- Perbedaan ending film dengan versi novelnya
Sejak tayang di Netflix pada 7 November lalu, Frankenstein (2025) karya Guillermo del Toro menjadi salah satu film yang paling banyak diperbincangkan. Adaptasi terbaru dari novel klasik karya Mary Shelley ini menampilkan pendekatan yang jauh lebih emosional, gelap, dan humanistik dibanding versi-versi sebelumnya.
Dengan sentuhan khas del Toro yang penuh simbolisme dan nuansa gotik, Frankenstein kali ini bukan sekadar kisah tentang makhluk ciptaan manusia, melainkan refleksi tentang dosa, ambisi, dan penerimaan diri. Yuk, simak penjelasan lengkap tentang akhir film Frankenstein (2025) berikut ini.
Artikel ini mengandung spoiler film!
1. Mengapa sosok Victor Frankenstein lebih kelam dari versi novelnya?

Del Toro sengaja menampilkan sosok Victor Frankenstein (Oscar Isaac) dalam versi yang lebih gelap dan tragis dibandingkan adaptasi sebelumnya. Dalam novelnya, Victor digambarkan sebagai ilmuwan ambisius yang takut pada ciptaannya sendiri. Namun di tangan del Toro, Victor bukan hanya ambisius, tapi juga arogan dan kejam.
Victor tumbuh di bawah tekanan ayahnya, Baron Leopold Frankenstein (Charles Dance), yang dingin dan abusif. Pola kekerasan itu akhirnya ia ulangi kepada ciptaannya sendiri. Alih-alih merasa takut, Victor justru memperlakukan sang makhluk seperti eksperimen gagal. Monster itu dikurung, dipukuli, bahkan berusaha dibakar hidup-hidup.
Del Toro menggambarkan bahwa monster sejati dalam cerita ini bukanlah makhluk ciptaannya, melainkan Victor sendiri. Di akhir hidupnya, Victor akhirnya sadar bahwa ia telah mewarisi kebencian dan kekerasan dari ayahnya, dan bahwa seluruh penderitaan di sekitarnya berasal dari dirinya sendiri.
2. Apa maksud penglihatan Victor tentang Malaikat Maut?

Sepanjang film, Victor beberapa kali melihat penglihatan malaikat bersayap api yang muncul dalam mimpinya. Awalnya, malaikat itu tampak seperti sosok penyelamat. Namun seiring waktu, wujudnya berubah menjadi kerangka yang terbakar.
Malaikat tersebut bukanlah pemandu spiritual, melainkan pengingat akan dosa dan kesalahan Victor. Malaikat itu muncul setiap kali Victor kehilangan seseorang, mulai dari ibunya, adiknya, hingga tunangan adiknya, Elizabeth. Ia menjadi simbol bahwa setiap ambisi manusia untuk "menjadi Tuhan" akan selalu berakhir dengan kehancuran.
Malaikat Maut juga menggambarkan pergulatan batin Victor. Ketika ia masih idealis, malaikat tampak indah. Namun saat kesombongan menguasainya, malaikat itu menunjukkan wajah aslinya: kematian. Dalam arti simbolis, Victor sendiri adalah Malaikat Maut bagi orang-orang yang dicintainya.
3. Perbedaan ending film dengan versi novelnya

Bagian akhir Frankenstein versi del Toro memang mengambil inspirasi dari novel Mary Shelley, tetapi dengan pesan yang jauh lebih manusiawi. Dalam novel, Victor meninggal tanpa menyesal, dan makhluk ciptaannya berjanji untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Sedangkan dalam film, Victor meninggal dengan penuh penyesalan dan memohon ampun pada makhluk ciptaannya. Permintaan itu pun diterima. Sang makhluk memaafkan penciptanya, menunjukkan sisi kemanusiaan yang justru tidak dimiliki Viktor. Uniknya, makhluk dalam adaptasi del Toro cenderung abadi dan karenanya tidak dapat mati.
Adegan terakhir memperlihatkan makhluk itu berdiri di tengah cahaya matahari yang terbit di Arktik, simbol penerimaan dirinya terhadap kehidupan meski penuh luka. Del Toro menutup film dengan kutipan dari puisi Lord Byron, “The heart will break, yet brokenly live on,” yang menandakan bahwa meski hati atau jiwa kita hancur, kehidupan harus tetap berjalan.
Tema besar film ini adalah penerimaan terhadap ketidaksempurnaan, serta berakhirnya siklus kekerasan antargenerasi. Di titik itu, del Toro menegaskan bahwa "monster sejati" bukanlah sang ciptaan, melainkan manusia yang gagal berempati dengan sekitarnya.
4. Penjelasan ending Frankenstein menurut Guillermo del Toro

Dalam wawancara dengan Man of Many pada bulan Oktober 2025, del Toro menjelaskan filosofi di balik akhir filmnya. Ia menyebut bahwa struktur filmnya melingkar, dimulai dengan matahari terbit di atas kapal sang kapten, dan berakhir dengan matahari terbit di atas sang makhluk.
"Saya berpikir, 'Nah, jika idenya adalah dia (Monster Frankenstein) akan hidup selamanya, bisakah dia masih menerima matahari? Bisakah dia masih menerima kehidupan?'" ujar sutradara yang akrab dipanggil GDT ini.
Ia menambahkan bahwa pesan utama film ini adalah tentang rekonsiliasi dan penerimaan diri.
"Ketidaksempurnaan adalah kondisi kehidupan. Anda akan menjalani hidup yang tidak sempurna. Dan saya pikir film ini berdamai dengan hal itu, memaafkan, dan apa artinya menjadi manusia, yaitu mampu melihat orang lain," katanya
Dengan akhir yang pahit namun penuh harapan, Frankenstein (2025) menjadi kisah tentang pengampunan, bukan hanya tentang penciptaan dan kehancuran. Seperti yang dikatakan GDT, ending film ini mungkin "salah satu akhir yang paling penuh harapan" dalam kariernya.


















